Kamis, 21 April 2016

KERASNYA HIDUP DI JALANAN .

[Metropolitan]
Hidup di Jalanan, Melebihi Kerasnya Batu

HARI itu, 168 anak perwakilan dari 28 provinsi di Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2009 di Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta Utara. Acara yang dihadiri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof Muthia Hatta ini berlangsung meriah. Anak-anak bisa bermain semua jenis permainan yang mereka suka.
Canda-tawa dan hiruk-pikuk kemeriahan hanya dialami oleh sedikit anak Indonesia yang beruntung. Bagi anak-anak jalanan, HAN sama seperti hari biasanya, hari dimana mereka harus berkutat dengan kerasnya hidup. Hidup di jalanan lebih keras daripada batu, ungkap Andi, 14.

Di salah satu sudut Stasiun Depok Lama, di Depok, Jawa Barat bocah yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang tidak teratur ini mencoba berbagi cerita. Dengan nada suara yang tidak beraturan karena sedikit mabuk, Andi menceritakan cita-citanya untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengen jadi ABRI, eh, sekarang jadi tukang sapu. Gue ngapain sekolah berhenti? katanya sambil sesekali mengisap rokok.
Kehidupan jalanan yang liar membuatnya telah banyak mencoba hal-hal negatif, meskipun umurnya masih cukup muda.
Dalam sehari Andi bisa mengantongi Rp25.000 hasil dari menyapu di gerbong-gerbong kereta. Rp5.000 diambilnya untuk makan dan sisanya ditabung untuk membiayai kedua adiknya yang tinggal di Karawang, Jawa Barat. Setiap bulan uang yang terkumpul dikirim ke kampung melalui seorang tetangganya.

Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (PA)tahun 2008 menunjukkan sebanyak6,5 juta anak-anak terpaksa bekerja. Sebanyak 2,1 juta bekerja dalam bentuk-bentuk terburuk, dan 1,5 juta bekerja sebagai pekerja rumahtangga yang tersembunyi. Selebihnya bekerja pada sentra-sentra industri, pertanian, perikanan, dan perkebunan; bahkan bekerja dan hidup di jalanan.
Harapan yang tidak muluk-muluk juga dilontarkan anak jalanan lainnya,Aditya, 15. Baginya bisa selamat dan bisa hidup sudah sangat cukup. Biar jadi gembel, yang penting hidup, katanya dibarengi suara bising kereta ekspres yang lewat. Di antara temannya, Aditya-lah yang berbicara paling banyak dengan gaya khas anak jalanan: lugas dan apa adanya. Penampilannya seperti anak punk dengan banyak tindikan di kanan dan kiri telinganya. Saya mah nggak mau nyolong. Daripada nyolong, lebih baik minta. Kalau nggak dikasih, baru pinjem, ujarnya sambil bercanda dengan temannya yang berbadan paling subur, Andi Saputra, 15.
Sejak umur 7 tahun Andi Saputra sudah meninggalkan keluarganya di daerah Rangkas, Parung Panjang. Karena tidak bisa membayar uang sekolah, dia memilih menggelandang di jalanan. Bersama kedua temannya, Andi hidup dan berteduh dari stasiun ke stasiun; tetapi biasanya mereka mangkal di Stasiun Depok Baru, Citayam, Bogor, Jawa Barat.

Dengan nada suara yang pasti, Andi Saputra mengungkapkan keinginan hatinya. Malu jadi gembel terus, pengen dagang, katanya sambil menyalakan rokok. Memang di antara temannya, dialah yang paling mengebu-gebu ketika menceritakan kisah hidupnya yang serba kekurangan karena harus berbagi dengan adik-adiknya. Dahulu ketika masih di kampung, hidupnya sangat susah. Makan hanya jagung ditumbuk dan apabila hujan turun atap rumahnya bocor.
Mereka bertiga sudah mengenal rokok, minuman keras, dan obat terlarang sejak usia dini. Andi Saputra malahan pernah kecanduan aibon, namun akhirnya disadarkan oleh seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Depok yang membuka rumah singgah bagi anak jalanan.
Meskipun perhatian pemerintah masih kurang terhadap anak-anak jalanan tetapi masih banyak orang yang peduli dengan mendirikan rumah singgah ataupun rumah baca. Selain itu Komnas PA juga merekomendasikan tujuh poin kepada pemerintah saat Kongres Anak Indonesia 2009.
Salah satunya poinnya yaitu mendesak agar negara transparan dalam mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan sebagaimana amanat UUD 1945 dan menciptakan sistem pendidikan yang tidak diskriminatif bagi anak, khususnya anak-anak dari keluarga miskin.
Salah satu alasan mereka menjadi anak jalanan adalah tidak mampu bayar uang sekolah. Mereka juga menyesal karena tidak melanjutkan sekolah seperti yang diungkapkan Muhammad Andi. Tapi rata-rata mereka enggan menceritakan tentang orangtuanya.

Meski hidup di jalanan mereka masih mempunyai mimpi walaupun sederhana. Kelak mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kerasnya kehidupan jalanan, tidak lantas membuat mereka bersedih. Mereka masih bisa bergembira dengan cara mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar