[Metropolitan]
Hidup di Jalanan, Melebihi Kerasnya Batu
HARI itu, 168 anak perwakilan dari 28 provinsi di Indonesia
memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2009 di Dunia Fantasi,
Ancol, Jakarta Utara. Acara yang dihadiri Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan Prof Muthia Hatta ini berlangsung meriah. Anak-anak bisa
bermain semua jenis permainan yang mereka suka.
Canda-tawa dan hiruk-pikuk kemeriahan hanya dialami oleh sedikit
anak Indonesia yang beruntung. Bagi anak-anak jalanan, HAN sama seperti
hari biasanya, hari dimana mereka harus berkutat dengan kerasnya hidup.
Hidup di jalanan lebih keras daripada batu, ungkap Andi, 14.
Di salah satu sudut Stasiun Depok Lama, di Depok, Jawa Barat
bocah yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang tidak teratur ini
mencoba berbagi cerita. Dengan nada suara yang tidak beraturan karena
sedikit mabuk, Andi menceritakan cita-citanya untuk menjadi anggota
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengen jadi ABRI, eh,
sekarang jadi tukang sapu. Gue ngapain sekolah berhenti? katanya sambil
sesekali mengisap rokok.
Kehidupan jalanan yang liar membuatnya telah banyak mencoba hal-hal negatif, meskipun umurnya masih cukup muda.
Dalam sehari Andi bisa mengantongi Rp25.000 hasil dari menyapu di
gerbong-gerbong kereta. Rp5.000 diambilnya untuk makan dan sisanya
ditabung untuk membiayai kedua adiknya yang tinggal di Karawang, Jawa
Barat. Setiap bulan uang yang terkumpul dikirim ke kampung melalui
seorang tetangganya.
Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (PA)tahun 2008
menunjukkan sebanyak6,5 juta anak-anak terpaksa bekerja. Sebanyak 2,1
juta bekerja dalam bentuk-bentuk terburuk, dan 1,5 juta bekerja sebagai
pekerja rumahtangga yang tersembunyi. Selebihnya bekerja pada
sentra-sentra industri, pertanian, perikanan, dan perkebunan; bahkan
bekerja dan hidup di jalanan.
Harapan yang tidak muluk-muluk juga dilontarkan anak jalanan
lainnya,Aditya, 15. Baginya bisa selamat dan bisa hidup sudah sangat
cukup. Biar jadi gembel, yang penting hidup, katanya dibarengi suara
bising kereta ekspres yang lewat. Di antara temannya, Aditya-lah yang
berbicara paling banyak dengan gaya khas anak jalanan: lugas dan apa
adanya. Penampilannya seperti anak punk dengan banyak tindikan di kanan
dan kiri telinganya. Saya mah nggak mau nyolong. Daripada nyolong, lebih
baik minta. Kalau nggak dikasih, baru pinjem, ujarnya sambil bercanda
dengan temannya yang berbadan paling subur, Andi Saputra, 15.
Sejak umur 7 tahun Andi Saputra sudah meninggalkan keluarganya di
daerah Rangkas, Parung Panjang. Karena tidak bisa membayar uang
sekolah, dia memilih menggelandang di jalanan. Bersama kedua temannya,
Andi hidup dan berteduh dari stasiun ke stasiun; tetapi biasanya mereka
mangkal di Stasiun Depok Baru, Citayam, Bogor, Jawa Barat.
Dengan nada suara yang pasti, Andi Saputra mengungkapkan
keinginan hatinya. Malu jadi gembel terus, pengen dagang, katanya sambil
menyalakan rokok. Memang di antara temannya, dialah yang paling
mengebu-gebu ketika menceritakan kisah hidupnya yang serba kekurangan
karena harus berbagi dengan adik-adiknya. Dahulu ketika masih di
kampung, hidupnya sangat susah. Makan hanya jagung ditumbuk dan apabila
hujan turun atap rumahnya bocor.
Mereka bertiga sudah mengenal rokok, minuman keras, dan obat
terlarang sejak usia dini. Andi Saputra malahan pernah kecanduan aibon,
namun akhirnya disadarkan oleh seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi
di Depok yang membuka rumah singgah bagi anak jalanan.
Meskipun perhatian pemerintah masih kurang terhadap anak-anak
jalanan tetapi masih banyak orang yang peduli dengan mendirikan rumah
singgah ataupun rumah baca. Selain itu Komnas PA juga merekomendasikan
tujuh poin kepada pemerintah saat Kongres Anak Indonesia 2009.
Salah satunya poinnya yaitu mendesak agar negara transparan dalam
mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan
sebagaimana amanat UUD 1945 dan menciptakan sistem pendidikan yang tidak
diskriminatif bagi anak, khususnya anak-anak dari keluarga miskin.
Salah satu alasan mereka menjadi anak jalanan adalah tidak mampu
bayar uang sekolah. Mereka juga menyesal karena tidak melanjutkan
sekolah seperti yang diungkapkan Muhammad Andi. Tapi rata-rata mereka
enggan menceritakan tentang orangtuanya.
Meski hidup di jalanan mereka masih mempunyai mimpi walaupun
sederhana. Kelak mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Kerasnya kehidupan jalanan, tidak lantas membuat mereka bersedih. Mereka
masih bisa bergembira dengan cara mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar