KERASNYA HIDUP di JALANAN
“Diduga menghindari kejaran aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) yang melakukan razia, dua pengamen Jalanan yakni Muhamad Faisal (17)
dan Rini (12) tertabrak truk bermuatan tanah di Jalan Ahmad Yani,
Cempaka Putih. Jakarta Pusat. Senin (1/3) sekitar pukul 10.30. Faisal
tewas seketika dengan kepala remuk, sedangkan Rini mengalami luka berat
di kepala serta punggung dan langsung dilarikan ke RS Kartika.”
Ini adalah salah satu wacana sebuah Koran yang beberapa hari lalu saya
baca. Miris memang katika profesi pengamen harus mengorbankan nyawa
demi tercukupinya hidup. Kehidupan mereka begitu keras.
Leni adalah seorang anak yang biasa mengamen di pertigaan menuju Timoho
depan UIN . Saat matahari cukup terik. Akivitas di jalan utama menuju
jalan Solo masih tetap ramai seperti biasanya. Ketika saya berhenti di
pertigaan jalan Affandi (Timur UNY), seorang pengamen jalanan yang
berumur 10 tahun menghampiri seluruh pengguna jalan yang sedang berhenti
untuk menunggu lampu hijau menyala. Leni Ia sebut namanya, sedikit
menggelitik rasa hatiku untuk bertanya, awal mulanya aku ragu apakah dia
mau menjawab semua keingin tahuanku.
Berpura-pura berteduh saat hujan hampir mengguyur kota Yogya, ku coba
dekati pengamen kecil seusia adikku. Aku tanyakan di mana rumahnya, Ia
tinggal di pinggiran sungai Gajah Wong. Dan Ia tingggal lengkap dengan
Bapak serta Ibunya. Dia tidak bersekolah namun Ia mengikuti kegiatan
Yayasan yang di bentuk oleh beberapa gabungan Mahasiswa, tidak begitu
jelas Ia ceritakan tentang Yayasan itu. Ketika ku tanya berapa
penghasilan per-hari. Ia bercerita “ Kadang Rp20.000 tu kalau lagi ramai
mbak kayak Minggu, tapi rata-rata Rp 10.000,-.”
Memang hampir sama dengan buruh pabrik yang per-hari 25.000, ketika ku
tanyakan untuk apa saja uang itu? Rani menjawab “sebagian untuk makan
5.000,- yang Rp 2.500 untuk pasokan yayasan,sisanya ditabung atau di
kasih Ibuk.” Tutur anak yang menurutku Ia cerdas berkomunikasi, karena
Leni ini menjawab dengan fasih bahasa Indonesia yang aku lontarkan.
Ibunya bekerja menjadi pemulung, bapaknya menganggur di rumah.
Ketika aku Tanya mengapa kamu mengamen? “ Ya, buat bantu ibuk mbak,
anak-anak pinggiran sungai banyak yang mengamen kok mbak.” Tuturnya
polos. Ini sebuah hal yang perlu di analisa, mereka mengamen bukan atas
dasar keinginan mereka. Mereka hanya sekedar meniru apa yang menjadi
budaya mesyarakat setempatnya.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dalam hal ini.
Meskipun mereka sudah dirazia, diberi penyuluhan, dan difasilitasi
Yayasan dengan harapan mereka bisa berhenti mengamen dan hidup layak
seperti pada umumnya. Namun seperti kita lihat, mereka memiliki
lingkungan yang didalamnya memiliki sebuah system turun temurun hidup
dibawah rumah kumuh dan mengamen. Sosialisasi mereka lebih cepat
dibanding usaha pemerintah menghapus anak jalanan.
Akhirnya aku mengantar Rani pulang sampai rumahnya. Benar-benar melihat
lingkungannya. Bukan secara Ekonomi aku memandang, mereka berpakaian
bagus, rata-rata rumahnya semi permanen dan cukup untuk berteduh. Tak
jauh berbeda dengan rumah-rumah para korban gempa di bantul. Justru yang
menjadi pertanyaan mengapa mereka masih bertahan dengan profesi mereka?
Ibu-Ibu yang tidak menjadi pemulung memilih mengemis sambil menggendong
anak yang belum tentu anaknya, mereka menyewa anak tetangganya dan
membagi hasil dari mengemis.
Dipandang sagi social, kita bisa mengubah mereka dengan jalan merubah
mentalnya. Bukan mengemis tapi bekarja. Bukan mengamen tapi buruh
seberapaun pendapatanya. Aku sedikit Iba namun juga miris. Inilah
pengalamanku pertama. Semoga artikel ini berguna. Baik buruknya
tergantung dari segi mana kita memandang.
TRIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar