Semua keberhasilan dan kegagalanseseorang itu berasal dari masing
masingorang tersebut, memulai suatu usahaapapun harus dimulai dari sikap
dan caraberpikir kita dalam menanggapi berbagaisituasi yang akan
ditemui dalammengarungi kerasnya kehidupan ini.
Semuakita ini adalah
orang orang yang memilikikelebihan dan kekurangan, tinggalbagaimana kita
mengoptimalkan potensikelebihan kita dan meminimalkankekurangan kita,
karna keseimbangan kesemua unsur kita adalah kunci sukses yangakan kita
raih. Kita bukan harus berhasil,bukan harus sukses, tapi kita
harusmencoba untuk sukses tanpa kenal lelahdan kata menyerah, kegagalan
adalahjenjang untuk sebuah kesuksesan bukanharus ditangisi dan disesali.
Kamis, 21 April 2016
Cerita Anak PUNK
Anak-anak "Punk" itu Juga Puasa
Mengenakan celana panjang ketat, kaus hitam, dan sepatu kanvas butut, Dennis berdiri seorang diri di pelataran Mega Mall, Batam. Rambutnya yang biasa ia cat warna-warni, kini hanya berwarna kemerahan, walau masih terlihat jelas ciri sebagai anak "punk". Biasanya, setiap sore, Dennis dan komunitas punk lain berkumpul di pos masing-masing. Kebanyakan mereka hidup dari hasil mengamen.
Tetapi tidak petang itu. Ia sendirian di "pos" yang biasa menjadi tempat berkumpul kelompok punk lain. Seiring bulan puasa menjelang, kawasan Batam Center yang biasanya diwarnai tingkah-polah anak-anak punk, mulai ditinggalkan oleh kawan-kawan Dennis. Satu per satu mereka pergi, meninggalkan komunitas untuk kembali hidup bersama keluarga saat Ramadhan tiba.
"Lebih dari setengah anak punk pada pulang (ke rumah keluarga)," kata Dennis, anak punk komunitas Sei Panas.
Di Batam, terdapat sedikitnya lima komunitas punk, Batam Centre, Panbil, Sei Panas, Batu Aji, dan Nagoya.
Pada hari biasa, mereka tinggal di ruko-ruko kosong dan pinggir jalan. Namun, pada Ramadhan, rumah toko sepi, komunitas punk meninggalkan "rumah".
Anak-anak muda dengan rambut warna-warni dengan tatanan ditarik ke atas ala "spike", kini jarang terlihat di jalanan Batam.
Anak punk biasanya mendeskripsikan diri sebagai manusia yang bebas berekspresi. Mereka hidup di jalan beramai-ramai dalam sebuah kelompok, tanpa aturan yang membelenggu, kecuali solidaritas yang tinggi.
Makan, tidur, senang, sedih dirasakan bersama-sama. "Makan ora makan asal ngumpul," begitu motto mereka.
Namun demikian ketika bulan puasa tiba, mereka saling berpencar, kembali ke keluarga batih masing-masing.
Kangen masakan bunda
Magnet terkuat yang menarik anak punk pulang ke keluarga kala bulan suci adalah masakan sang bunda.
Mimi (17), gadis asal Tanjungbalai, Karimun, memilih pulang ke pulau seberang untuk mendapatkan ketenangan dan kemenangan dalam Ramadhan.
"Kasihan ibu kalau saya menghabiskan bulan puasa di jalan. Lagi pula, saya rindu masakan ibu," katanya.
Gadis punk lain, Kaka (18) mengaku kangen menyantap gulai ikan buatan ibu.
"Makanya aku mau pulang. Buka puasa makan gulai ikan buatan ibu,... mmm nikmat," kata gadis berambut sebahu itu tersenyum.
Gadis yang siang itu mengenakan celana pendek dan kemeja kotak-kotak mengatakan sedang mengumpulkan uang untuk pulang ke rumah orang tua di Tanjung Uma, sekitar 15 km dari Batam Centre.
"Aku baru satu hari di jalan, kemarin-kemarin pulang, karena sedang halangan, tidak puasa, jadi ke jalan lagi," kata anak ketiga dari lima bersaudara itu.
Setengah hari
Tapi, tidak semua anak punk Muslim berpuasa penuh sesuai syariat Islam.
Bento, lelaki asal Medan berusia 28 tahun, berpuasa setengah hari.
"Awak puasa setengah hari saja, habis tidak kuat," kata pria berambut ikal melebihi bahu.
Ia mengatakan setiap pukul 12.00 WIB dia minum dan makan, menghilangkan dahaga dan lapar yang mendera karena sibuk memarkirkan motor di pusat perbelanjaan Barata, Batam Centre.
"Awak paling tidak kuat kalau haus, habis, Batam ini panas betul," katanya.
Sekitar pukul 13.00 WIB, ia kembali berpuasa, menahan haus dan lapar, juga nafsu dunia lain.
Bagi Bento, agama adalah urusan pribadi. Tidak seorang pun manusia yang berhak mengutak-utik ibadah seseorang.
Begitu juga dengan Imunk, yang sejak Ramadan hari pertama tidak pernah puasa.
"Mungkin saya harus pulang (ke keluarga-red) dulu, biar puasa," katanya.
Meski tidak puasa, ia mengaku menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah.
"Saya tidak mabuk," katanya, menyebutkan toleransi yang dia lakukan kepada muslim lain.
Ia mengatakan, dirinya selama bulan puasa tidak sering minum alkohol.
"Minum sih, tapi cuma basa-basi," katanya.
Minum basa-basi itu ia artikan meminum dalam kuantitas kecil sehingga tidak menyebabkan mabuk.
Mengenakan celana panjang ketat, kaus hitam, dan sepatu kanvas butut, Dennis berdiri seorang diri di pelataran Mega Mall, Batam. Rambutnya yang biasa ia cat warna-warni, kini hanya berwarna kemerahan, walau masih terlihat jelas ciri sebagai anak "punk". Biasanya, setiap sore, Dennis dan komunitas punk lain berkumpul di pos masing-masing. Kebanyakan mereka hidup dari hasil mengamen.
Tetapi tidak petang itu. Ia sendirian di "pos" yang biasa menjadi tempat berkumpul kelompok punk lain. Seiring bulan puasa menjelang, kawasan Batam Center yang biasanya diwarnai tingkah-polah anak-anak punk, mulai ditinggalkan oleh kawan-kawan Dennis. Satu per satu mereka pergi, meninggalkan komunitas untuk kembali hidup bersama keluarga saat Ramadhan tiba.
"Lebih dari setengah anak punk pada pulang (ke rumah keluarga)," kata Dennis, anak punk komunitas Sei Panas.
Di Batam, terdapat sedikitnya lima komunitas punk, Batam Centre, Panbil, Sei Panas, Batu Aji, dan Nagoya.
Pada hari biasa, mereka tinggal di ruko-ruko kosong dan pinggir jalan. Namun, pada Ramadhan, rumah toko sepi, komunitas punk meninggalkan "rumah".
Anak-anak muda dengan rambut warna-warni dengan tatanan ditarik ke atas ala "spike", kini jarang terlihat di jalanan Batam.
Anak punk biasanya mendeskripsikan diri sebagai manusia yang bebas berekspresi. Mereka hidup di jalan beramai-ramai dalam sebuah kelompok, tanpa aturan yang membelenggu, kecuali solidaritas yang tinggi.
Makan, tidur, senang, sedih dirasakan bersama-sama. "Makan ora makan asal ngumpul," begitu motto mereka.
Namun demikian ketika bulan puasa tiba, mereka saling berpencar, kembali ke keluarga batih masing-masing.
Kangen masakan bunda
Magnet terkuat yang menarik anak punk pulang ke keluarga kala bulan suci adalah masakan sang bunda.
Mimi (17), gadis asal Tanjungbalai, Karimun, memilih pulang ke pulau seberang untuk mendapatkan ketenangan dan kemenangan dalam Ramadhan.
"Kasihan ibu kalau saya menghabiskan bulan puasa di jalan. Lagi pula, saya rindu masakan ibu," katanya.
Gadis punk lain, Kaka (18) mengaku kangen menyantap gulai ikan buatan ibu.
"Makanya aku mau pulang. Buka puasa makan gulai ikan buatan ibu,... mmm nikmat," kata gadis berambut sebahu itu tersenyum.
Gadis yang siang itu mengenakan celana pendek dan kemeja kotak-kotak mengatakan sedang mengumpulkan uang untuk pulang ke rumah orang tua di Tanjung Uma, sekitar 15 km dari Batam Centre.
"Aku baru satu hari di jalan, kemarin-kemarin pulang, karena sedang halangan, tidak puasa, jadi ke jalan lagi," kata anak ketiga dari lima bersaudara itu.
Setengah hari
Tapi, tidak semua anak punk Muslim berpuasa penuh sesuai syariat Islam.
Bento, lelaki asal Medan berusia 28 tahun, berpuasa setengah hari.
"Awak puasa setengah hari saja, habis tidak kuat," kata pria berambut ikal melebihi bahu.
Ia mengatakan setiap pukul 12.00 WIB dia minum dan makan, menghilangkan dahaga dan lapar yang mendera karena sibuk memarkirkan motor di pusat perbelanjaan Barata, Batam Centre.
"Awak paling tidak kuat kalau haus, habis, Batam ini panas betul," katanya.
Sekitar pukul 13.00 WIB, ia kembali berpuasa, menahan haus dan lapar, juga nafsu dunia lain.
Bagi Bento, agama adalah urusan pribadi. Tidak seorang pun manusia yang berhak mengutak-utik ibadah seseorang.
Begitu juga dengan Imunk, yang sejak Ramadan hari pertama tidak pernah puasa.
"Mungkin saya harus pulang (ke keluarga-red) dulu, biar puasa," katanya.
Meski tidak puasa, ia mengaku menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah.
"Saya tidak mabuk," katanya, menyebutkan toleransi yang dia lakukan kepada muslim lain.
Ia mengatakan, dirinya selama bulan puasa tidak sering minum alkohol.
"Minum sih, tapi cuma basa-basi," katanya.
Minum basa-basi itu ia artikan meminum dalam kuantitas kecil sehingga tidak menyebabkan mabuk.
Empat faktor lingkungan yang mempengaruhi remaja, menjadi anak punk.
1. Lingkungan keluarga.
Keluarga
sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan remaja. Kasih sayang orang tua
dan anggota keluarga yang lain akan memberi dampak dalam kehidupan
mereka. Demikian pula cara mendidik dan contoh tauladan dalam keluarga
khususnya orang tua akan sangat memberi bekasan yang luar biasa. Seorang remaja juga memerlukan komunikasi
yang baik dengan orang tua, karena ia ingin dihargai, didengar dan
diperhatikan keluhan-keluhannya. Dalam masalah ini, diperlukan orang tua
yang dapat bersikap tegas, namun akrab (friendly). Mereka harus bisa
bersikap sebagai orang tua, guru dan sekaligus kawan. Dalam mendidik
anak dilakukan dengan cara yang masuk akal (logis), mampu menjelaskan
mana yang baik dan mana yang buruk, melakukan pendekatan persuasif dan
memberikan perhatian yang cukup. Semua itu tidak lain, karena remaja
sekarang semakin kritis dan wawasannya berkembang lebih cepat akibat
arus informasi dan globalisasi.
2. Lingkungan Sekolah
Sekolah
adalah rumah kedua, tempat remaja memperoleh pendidikan formal, dididik
dan diasuh oleh para guru. Dalam lingkungan inilah remaja belajar dan
berlatih untuk meningkatkan kemampuan daya pikirnya. Bagi remaja yang
sudah menginjak perguruan tinggi, nampak sekali perubahan perkembangan
intelektualitasnya. Tidak hanya sekedar menerima dari para pengajar,
tetapi mereka juga berfikir kritis atas pelajaran yang diterima dan
mampu beradu argumen dengan pengajarnya.
Dalam
lingkungan sekolah guru memegang peranan yang penting, sebab guru
bagaikan pengganti orang tua. Karena itu diperlukan guru yang arif
bijaksana, mau membimbing dan mendorong anak didik untuk aktiv dan maju,
memahami perkembangan remaja serta seorang yang dapat dijadikan
tauladan. Guru menempati tempat istimewa di dalam kehidupan sebagian
besar remaja. Guru adalah orang dewasa yang berhubungan erat dengan
remaja. Dalam pandangan remaja, guru merupakan cerminan dari alam luar.
Remaja percaya bahwa guru merupakan gambaran sosial yang diharapkan akan
sampai kepadanya, dan mereka mengambil guru sebagai contoh dari
masyarakat secara keseluruhan. Dan remaja menyangka bahwa semua orang
tua, kecuali orang tua mereka, berfikir seperti berfikirnya guru-guru
mereka.
3. Lingkungan teman pergaulan.
Teman
sebaya adalah sangat penting sekali pengaruhnya bagi remaja, baik itu
teman sekolah, organisasi maupun teman bermain. Dalam kaitannya dengan
pengaruh kelompok sebaya, kelompok sebaya mempunyai peranan penting
dalam penyesuaian diri remaja, dan bagi persiapan diri di masa
mendatang. Serta berpengaruh pula terhadap pandangan dan perilakunya.
Sebabnya adalah, karena remaja pada umur ini sedang berusaha untuk bebas
dari keluarga dan tidak tergantung kepada orang tua. Akan tetapi pada
waktu yang sama ia takut kehilangan rasa nyaman yang telah diperolehnya
selama masa kanak-kanaknya.
4. Lingkungan dunia luar
Merupakan
lingkungan remaja selain keluarga, sekolah dan teman pergaulan, baik
lingkungan masyarakat lokal, nasional maupun global. Lingkungan dunia
luar akan memperngaruhi remaja, baik secara langsung maupun tidak
langsung, baik itu benar maupun salah, baik itu islami maupun tidak.
Lingkungan dunia luar semakin besar pengaruhnya disebabkan oleh
faktor-faktor kemajuan teknologi, transportasi, informasi maupun
globalisasi.
Pada
masa remaja, emosi masih labil, pencarian jati diri terus menuntut
untuk mencari apa potensi yang ada di dalam diri masing-masing. Pada
masa inilah seseorang sangat rapuh, mudah terpengaruh oleh lingkungan
sekitar. Seiring dengan pesatnya perkembangan scane punk yang ada di
Indonesia, komunitas punk mampu menyihir remaja Indonesia untuk masuk ke
dalam komunitas punk. Tetapi tidak semua remaja Indonesia tertarik
dengan apa yang ada di dalam punk itu sendiri. Sebagian remaja di
Indonesia hanya mengkonsumsi sedikit yang ada di dalam punk. Contoh
kecil, seorang remaja berpakaian ala punk, tetapi dia tidak idealis, dia
tidak menganut paham ideologi punk, dia juga suka musik cengeng yamg
lembut bak seorang bayi yang baru keluar dari rahim ibunya. Dari contoh
kecil tersebut, komunitas punk masih bisa dibilang sangat berpengaruh
terhadap perilaku remaja Indonesia, bahkan bisa dibilang mempunyai andil
dan bertanggung jawab terhadap kebebasan berekspresi remaja Indonesia.
Keterangan diatas dapat kita simpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi seorang remaja ikut dalam komunitas punk. Maka peran orang
tua dan lingkungan mereka sangatlah berpengaruh untuk membentuk
kepribadian seseorang.
Kata-kata bijak anak punk jalanan sejati

- Kobarkan semangat melawan rasa malas, kenali dirimu untuk maju, jangan kau terbodohi dengan mimpi yang tak pasti, rasakan, pahami, apa kata hati nurani berjuang tanpa henti, gapai suatu yang pasti, mandiri atau mati suatu pilihan yang pasti, demi kebahagiaan yang hakiki
- Apa yang salah jika mencoba dari 99% kesempatan dan 666% keberhasilan masih saja gagal
- Kehidupan bukan untuk melihat masa lalu, tapi kita harus melihat masa depan, jadi lupakan masa lalu dan kita harus maju kedepan apapun halangan dan rintangan kita harus dapat menghadapi itu sendiri dengan kesabaran hati, jadi karena itu kita jangan ambil keputusan saat emosi
- Mungkin tuhan menguji umatnya dengan kesedihan dan kebahagiaan seperti langit dan bumi, cinta dan benci, jadi kita harus menyadari bahwa hidup itu akan selalu bertentangan dan berpasangan
- Orang yang bijak adalah orang yang dapat belajar dari kesalahan masa lalunya
- Di dunia ini gak ada yang nomor 1, karena nomor satu masih akan menunggu angka yang lainnya
- Musuh kami bukan kaum, ras, atau agama, kami cinta negeri ini tapi kami benci terhadap peraturan yang ada
- Demi sebuah rasa yang kalian sebut solidaritas terjadi saling tusuk, timpuk, dan sayat emosimu tersulut dari masalah yang tak jelas ujung pangkalnya, lantas kalian pun ikut berpartisipasi hantam sana hantam sini, kawan jangan habisi masa mudamu seperti ini karena kau masih berguna bagi keluarga, bangsa, dan negara
- Orang yang hebat adalah orang yang dapat belajar dan memetik hikmah dari kesalahan di masa lalu
- Inilah realita banyak yang tidak sekolah dari tengah-tengah kota sampai kepelosok desa, berjuta anak bangsa tak bisa sekolah karena biayanya saja sudah semakin menggila. Katanya pendidikan adalah hak semua orang yang telah dijamin dan disahkan oleh undang-undang, tapi mana buktinya hanya sampah belaka yang bisa sekolah hanyalah yang berduit saja. Pendidikan disini gak pernah berubah seperti jamannya para penjajah dimana rakyat jelata tak bisa sekolah, yang bisa sekolah hanya kelompok yang berduit saja.
- Kita semua mempunyai hak untuk tinggal di tempat yang kita pilih, kita semua mempunyai hak untuk bekerja di tempat yang kita pilih, kita semua mempunyai hak untuk pergi ke tempat yang kita pilih, kita semua mempunyai hak untuk bekerja sama dengan siapapun yang kita pilih, kita semua mempunyai hak untuk berbicara dengan bahasa yang kita pilih, kita semua mempunyai hak untuk memiliki privasi sendiri
- Jangan pernah merasa takut, karena takut cuma cecurut
- Besok atau lusa perubahan pasti datang, sadar atau tidak, dituntut atau darahkan, terus berjuang jangan pernah menyerah demi sebuah kepercayaan
- Kami teriak bukan menyentak, tetapi kami teriak karena kami emosi karena kami tidak terima rakyat kecil di siksa
- Terus berjuang wahai rakyat kecil, gapai suatu mimpi yang pasti adalah cita-cita kalian semua
- Hidupmu bukan untuk menyerah, tetapi untuk berjuang dengan sepenuh jiwamu tanamkan dalam hatimu suatu keyakinan untuk maju
- Hari ini, besok, lusa dan seterusnya jadilah diri sendiri karena jadi sendiri berarti kalian sudah menjadi jawaban
- Tetaplah bergerak maju, sekalipun lambat. Karena dalam keadaan tetap bergerak anda menciptakan kemajuan. Adalah jauh lebih baik bergerak maju sekalipun pelan, daripada tidak bergerak sama sekali.
- Hadiah terbesar yang dapat diberikan oleh induk elang pada anak-anaknya bukanlah serpihan-serpihan makanan pagi. Bukan pula eraman hangat di malam-malam yang dingin. Namun, ketika mereka melempar anak-anak itu dari tebing yang tinggi. Detik pertama anak-anak elang itu menganggap induk mereka sungguh keterlaluan, menjerit ketakutan, matilah aku! Sesaat kemudian, bukan kematian yang kita terima, namun kesejatian diri sebagai elang, yaitu terbang. Bila anda tak berani mengatasi masalah, anda tak akan menjadi seseorang yang sejati.
- Keberhasilan tidak diukur dengan apa yang telah anda raih, namun kegagalan yang telah anda hadapi, dan keberanian yang membuat anda tetap berjuang melawan rintangan yang bertubi-tubi.
- Apa yang anda raih sekarang adalah hasil dari usaha-usaha kecil yang anda lakukan terus menerus. Keberhasilan bukan sesuatu yang turun begitu saja. Bila anda yakin pada tujuan dan jalan anda, maka anda harus memiliki ketekunan untuk berusaha. Ketekunan adalah kemampuan anda untuk bertahan di tengah tekanan yang dan kesulitan. Jangan hanya berhenti pada langkah pertama!
- Apapun yang anda lakukan, lakukanlah dengan kebaikan hati. Keberhasilan bukan semata-mata karena kekuatan otot dan ketajaman pikiran. Anda perlu bertindak dengan kelembutan hati. Sukses tidak selalu dibangun di atas upaya sendiri. Di balik semua pencapaian terselip pengorbanan orang lain. Hanya bila anda melakukannya dengan kebaikan hati, siapapun rela berkorban untuk keberhasilan anda.
- Rahasia terbesar dalam hidup: Melewati hari ini dengan penuh makna. Makna tentang cinta, ilmu, dan iman. Dengan cinta hidup menjadi indah. Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dan dengan iman hidup menjadi terarah.
- Setiap insan mempunyai hak yang sama atas waktu. Tidak ada seorangpun melebihi dari yang lain. Namun tak jarang setiap kita berbeda dalam menentukan sikapnya. Ada yang berjuang untuk melaluinya dengan membunuh waktu. Tidak pula sedikit yang merasakan sempitnya kesempatan yang dia ada. Apapun yang anda lakukan, lakukanlah dengan kebaikan hati. Keberhasilan bukan semata-mata karena kekuatan otot dan ketajaman pikiran. Anda perlu bertindak dengan kelembutan hati. Sukses tidak selalu dibangun di atas upaya sendiri. Di balik semua pencapaian terselip pengorbanan orang lain. Hanya bila anda melakukannya dengan kebaikan hati, siapapun rela berkorban untuk keberhasilan anda. Keberhasilan tidak diukur dengan apa yang telah anda raih, namun kegagalan yang telah anda hadapi, dan keberanian yang membuat anda tetap berjuang melawan rintangan yang bertubi-tubi.
Jalanan... PELARIAN atau KEHIDUPAN!

Sejak
Marjinal bermarkas di Gang Setiabudi, Setu Babakan, Jakarta Selatan,
dari hari ke hari kian banyak saja anak muda yang datang dan terlibat
dalam program workshop. Selain membuka workshop cukil kayu dan musik,
Marjinal mengusahakan distro sederhana. Sebuah lemari etalase diletakkan
di beranda, menyimpan pelbagai produk Taringbabi; dari kaos, kaset,
pin, stiker, emblem, zine sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Di dinding didisplay puluhan desain kaos, di ruang tamu yang selalu riuh
itu. Di tengah-tengah kotak display, ada gambar tengkorak yang berbarik
sebagai ikon Taringbabi.
Para punker biasanya
datang secara berkelompok. Biasanya mereka duduk-duduk di beranda depan,
melepas penat, setelah seharian berada di jalanan, sambil asyik ngobrol
dan bermain musik. Dengan ukulele (kentrung), gitar dan jimbe mereka
menyanyikan lagu-lagu Marjinal. Bob dan Mike pun ikut nimbrung bernyanyi
bersama. Mike memberitahu accord atau nada sebuah lagu, dan
menjelaskan makna dari lirik lagu itu. Proses belajar dan mengajar,
secara tidak langsung terjadi di komunitas, dengan rileks.
Sebagian besar
anak-anak itu memilih hidup di jalanan, sebagai pengamen. Ada yang masih
sekolah, banyak juga yang putus sekolah. Mereka mengamen untuk membantu
ekonomi orangtua. Sebagian besar mereka berlatar belakang dari keluarga
miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung padat penduduk; Kali
Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu, Cakung, Cengkareng,
Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang dari kota-kota
seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu, Cirebon, Tegal,
Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Denpasar, Makasar,
Manado, dll. “Dengan mengamen mereka bisa bertahan hidup, dengan
mengamen mereka bisa membiayai sekolah dan membantu belanja sembako
untuk ibu mereka.,” kata Mike, aktifis Marjinal.
Jika sekilas
memandang penampilan mereka, boleh dibilang sebagai punk: ada yang
berambut mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam bergambar band-band punk
dengan pelbagai slogan anti kemapanan. Kaki mereka dibalut celana pipa
ketat dan mengenakan sepatu boot, ada juga yang hanya bersandal jepit.
Bagi
anak-anak jalanan itu, Marjinal bagaikan oase, mata air yang
menyegarkan kehidupan dan hidup mereka, di tengah cuaca kebudayaan
Indonesia yang masih memarjinalkan anak-anak miskin kota, seperti yang
didedahkan lirik lagu Banyak Dari Teman-temanku berikut ini:
Banyak
dari teman-temanku / Lahir dari keluarga miskin / Di mana engkau enggan
melihatnya, disana tak sederhana / Tak ada lagi banyak pilihan / /
Diantara bising kereta / Dan sudut-sudut kumuhnya pasar / Di bawah terik
matahari, disana tak sederhana / Tersangkut tajamnya pagar berduri / /
Pelajar yang putus sekolah / Perempuan dan pekerja kasar / Dibawah beban
yang dipikulnya, mereka tak sederhana / Terjebak pilihan yang berbahaya
/ / Tidur beralas tikar, dingin beratap mimpi / Tapi semuanya sirna
oleh kenyataan / Kepala jadi kaki, kaki jadi kepala / Disunat
dipotong-potong dicincang-cincang / / Banyak dari teman-temanku yang
hidup dijalan sana / Dimana kau tak merindukannya mereka kian tersiksa /
Tergusur gagahnya gedung yang somse (sombong sekali ah!) / / Di balik
tirai yang suram dan dipinggir keangkuhan / Bergelut dengan kegelapan
tersungkur di kaki besi / Tertembus panasnya timah kebencian
***
Persoalan
anak jalanan di kota-kota besar di negeri ini sudah lama
diperbincangkan, mulai dari kampus, kelompok studi, sampai seminar di
hotel berbintang lima. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah
sebab menyangkut perut banyak orang. Banyak oknum yang memeras anak
jalanan.
Pada
saat krisis ekonomi, jumlah anak jalanan melonjak 400 persen. Sedangkan
Departemen Sosial, tahun 1998 memperkirakan, jumlah anak jalanan
mencapai angka 170.000 anak. Anak jalanan, secara umum akan dibilang
anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya dan
anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup
sembarangan di jalanan. Usia mereka 6-15 tahun.
Kehidupan
anak muda di jalan adalah satu subkultur. Sebuah subkultur selalu hadir
dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir
begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengait dengan
peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Untuk memudahkan kita
memahami gagasan mengenai subkultur anak muda jalanan, mari mencermati
peta antara hubungan anak muda dan orang tua, serta kultur dominan
sebagai kerangkanya.
Sekurang-kurangnya,
ada dua pihak yang –berkat dukungan modal yang melekat pada dirinya–
berupaya mengontrol kehidupan kaum muda, yaitu negara dan industri
berskala besar. Di Indonesia, pihak pertama yaitu negara berupaya
mengontrol kehidupan anak muda melalui keluarga. Keluarga dijadikan agen
oleh negara, sebagai saluran untuk melanggengkan kekuasaan.
Melalui
UU No. 10/1992 diambil satu keputusan yang menjadikan keluarga sebagai
alat untuk mensukseskan pembangunan. Keluarga tidak hanya dipandang
memiliki fungsi reproduktif dan sosial, melainkan juga fungsi ekonomi
produktif. Pengambilan keputusan keluarga dijadikan alat untuk
mensukseskan pembangunan, pada gilirannya, membawa perubahan pada posisi
anak-anak dan kaum muda dalam masyarakat.
Negara
memandang anak-anak dan kaum muda sebagai satu aset nasional yang
berharga. Karena itu, investasi untuk menghasilkan peningkatan modal
manusia (human capital) harus sudah disiapkan sejak sedini
mungkin. Dalam hal tugas orang dewasa adalah melakukan
penyiapan-penyiapan agar seorang anak bisa melalui masa transisinya
menuju dewasa. Akibatnya ada pemisahan yang jelas antara masa anak-anak
dan masa muda dengan masa dewasa. Adalah tugas orang tua untuk
memberikan pemenuhan gizi yang dibutuhkan, mengirim ke sekolah sebagai
bagian dari penyiapan masa transisi.
Saya
Shiraishi (1995) yang banyak mengamati kehidupan keluarga dan masa
kanak-kanak dalam masyarakat Indonesia mutakhir mengatakan bahwa
implikasi lebih lanjut dari gagasan keluarga modern itu pada akhirnya
menempatkan anak-anak sepenuhnya dibawah kontrol orangtua. Orangtua
menjadi kuatir bila anaknya tidak mampu melewati masa transisi dengan
baik, misalnya putus sekolah, dan akan terlempar menjadi kaum “tuna”
(tuna wisma, tuna susila dan tuna lainnya), kaum yang kehidupannya ada
di jalanan.
Kekuatiran ini bisa dilihat secara jelas dengan streotipe
mengenai kehidupan jalanan sebagai kehidupan “liar”. Bukanlah satu hal
yang mengada-ada bila kemudian para. orang tua lebih memilih untuk
memperpanjang proteksi anak-anaknya untuk berada di dalam rumah sebab
lingkungan di luar rumah dianggap sebagai”liar” dan mengancam masa depan
anaknya. Pilihan untuk memperpanjang masa proteksi anak-anak inilah
yang kemudian ditangkap sebagai peluang niaga oleh para pengusaha.
Belakangan
ini dengan mudah kita bisa melihat berbagai produk atau media untuk
membantu penyiapan masa transisi anak-anak. Berbagai media cetak dan
elektronika mengeluarkan berbagai produk bagaimana menyiapkan anak
secara “baik dan benar” dalam rangka pengembangan sumber daya
pembangunan. Para orang tua pada. gilirannya akan lebih mengacu pada
berbagai media itu sendiri dibandingkan pada peristiwa sehari-hari yang
dialami oleh anaknya.
Cara membesarkan anak yang diimajinasikan oleh negara dan pemilik modal inilah yang kemudian menjadi wacana penguasa (master discourse)
untuk anak-anak Indonesia. Ia digunakan sebagai alat untuk menilai
kehidupan keseluruhan anak dan kaum muda di Indonesia. Hasilnya seperti
yang ditunjukkan Murray (1994) adalah mitos kaum marjinal: yang
dari sudut pandang orang luar menggambarkan orang-orang ini sebagai
massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan
sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor … sumber pelacuran, kejahatan
dan ketidakamanan.
Jalan
raya bukanlah sekadar tempat untuk bertahan hidup. Bagi kaum muda
tersebut jalanan juga arena untuk menciptakan satu organisasi sosial,
akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi untuk keberadaaan
eksistensinya. Artinya ia juga berupaya melakukan penghindaran atau
melawan pengontrolan dari pihak lain.
Sebuah
kategori sosial, anak jalanan, bukanlah satu kelompok yang homogen.
Sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok yaitu anak yang
bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya
ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya. Anak yang bekerja di
jalan masih memiliki kontak dengan orang tua, sedangkan anak yang hidup
di jalan sudah putus hubungan dengan orang tua.
Soleh
Setiawan, seorang anak jalanan yang sudah hampir dua puluh tahun hidup
di jalan menuturkan pengalamannya. Katanya, waktu kecil ia banyak
ngeluyur di kampung Arab lalu sempat sekolah di Al-Irsyad, sebuah
sekolah ibtidaiyah di Pekalongan. Tapi ia lebih senang bermain di jalan
dibanding sekolah, lebih banyak bermain dari pada belajar. Sejak kecil
dia tidak mengenal orangtua kandungnya. Dia dibesarkan seorang pamannya
yang juga lebih banyak hidup di jalan. Seorang dokter yang cukup
terpandang di Pekalongan mengadopsinya. Tetapi Soleh kecil selalu tidak
merasa betah tinggal di rumah itu walau segala kebutuhannya dicukupi
oleh orangtua angkatnya. Dia lebih sering bermain di luar rumah,
sehingga orangtua angkatnya murka. Soleh pun minggat dari rumah. Dengan
menumpang kereta api barang, ia pergi ke beberapa kota di Jawa, lalu
ikut kapal penangkap ikan dengan rute pelayaran Kalimantan – Bali. Ia
bekerja sebagai koki kapal selama 3 bulan.
Ketika
pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak
mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir
bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila
strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hal ini
dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam
masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama
barunya. Ketika hidup di jalanan, Soleh dipanggil Gombloh karena sering nggambleh,
bergelantungan di mobil atau kereta api, pergi ke mana pun tanpa
tujuan. Biasanya anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti
dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari
bintang rock atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan nama John,
Jimi, Tomi dan semacamnya.
Proses
penggantian sebutan itu dengan sendirinya menunjukkan bahwa ia bukan
sekadar pergantian panggilan saja tetapi juga sebagai sarana
menanggalkan masa lalunya. Artinya ia adalah bagian dari proses untuk
memasuki satu dunia (tafsir) baru. Sebuah kehidupan yang merupakan
konstruksi dari pengalaman sehari-hari di jalan.
***
Apakah mereka memahami apa itu punk?
Mike:
Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di
jalan… Mereka punya kebanggaan, berpenampilan ngepunk, mereka tetap
bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam.
Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran
orang yang sudah dimapankan — yang menganggap negatif karena melihat
penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang
lebih penting adalah nilai-nilai punk dalam prakteknya berkembang dalam
kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin
kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa
dan kebebasan. Hidup di jalanan kan penuh tantangan. Apalagi sesusia
mereka, ada yang masih anak-anak, yang orang bilang diluar kewajaran —
ketika anak-anak yang lain kan sekolah, pulang ke rumah, bermain,
latihan ini dan itu, les piano … Mereka hidup di jalanan mencari uang
untuk membantu orangtua. Kadang dikejar dan digaruk trantib. Digertak
atau diperas orang yang sok jagoan, macho… Tapi dalam posisi bertahan
hidup di jalan, mereka mandiri, sehat, gembira, dan punya rasa humor.
Buat gue itu penting, manusiawi banget!
Tapi, di sisi lain
Mike prihatin ketika melihat para punker yang hidup di jalan, hanya
menjadikan jalanan sebagai tempat nongkrong dan mabuk-mabukan. Mereka
mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk
membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol. Mereka
masih berusia belasan tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti sekolah dan
lari dari rumah, karena terpengaruh teman-teman nongkrong . Mereka
menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk
yang disalahgunakan untuk mabuk). Banyak dari mereka adalah perempuan
berusia dini, dan menjadi korban pelecehan seksual.
Bagi mereka, punk
sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan
hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka,
dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala
bentuk tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak minuman atau
menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri
sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu, seperti yang
terjadi berikut ini:
Pada suatu siang yang
gerah, empat anak-muda (belasan tahun) berjalan oleng di depan squat
Marjinal. Mereka sudah beberapa kali mondar-mandir, dan seorang
diantaranya berwajah pucat, matanya terpejam, dalam keadaan mabuk berat,
sehingga menjadi tontonan warga. Ketika ditanya tujuannya hendak ke
mana, mereka cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil meringis.
Anak-anak kampung
Setiabudi (berusia belasan tahun) pun mengarak mereka ke pinggir kali.
Segala atribut punk yang melekat di tubuh mereka dilemparkan ke kali,
sambil diteriaki,”Pecundang! Pecundang! Pecundang!” Setelah itu,
mengusir mereka.
Kejadian serupa,
akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa tempat di Jakarta. Bahkan ada
aksi kriminal, seperti kasus perkosaan yang terjadi di terowongan
Casablanca yang dilakukan segerombolan orang yang beratribut punk, yang
diceritakan Kodok (personil Bombardir). “Begitu mendengar kejadian itu,
gue bareng warga menyisir beberapa tempat yang biasanya jadi tempat
nongkrong mereka,” ujar Kodok dengan nada tinggi.
Squat Marjinal juga
sering kedatangan para orangtua yang mencari keberadaan putrinya —
(seperti Nia dari Citayam). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan para ibu
tentang putra-putri mereka yang berperilaku “aneh” di mata mereka.
“Rambut diwarnai merah, sering diluar rumah, dan malas sekolah, maunya
pergi jauh ke Jawa padahal gak megang duit” kata seorang ibu dari Pondok
Kopi.
Sampai saat tulisan
ini dibuat, masyarakat awam masih memandang Punk sebagai sebuah
organisasi yang terpusat. Sehingga wajar saja apabila para orangtua
menanyakan segala sesuatu menyangkut putra-putrinya ke squat Marjinal.
Pada kenyataannya, punk adalah satuan-satuan kecil komunitas yang
menyebar. Di luar itu, adalah massa cair seperti yang dipresentasikan
para gerombolan yang beratribut punk di jalanan.
Berbeda dengan
gerombolan yang beratribut punk di jalanan yang ngamen untuk mabuk, punk
jalanan yang beken juga di sono disebut street punk adalah sebuah
gerakan budaya tanding ( counter cilture) yang melawan kemapanan budaya
dominan yang dibentuk oleh sistem kekuasaan. Street punk muncul di
Inggris pada tahun 1980-an, pada masa rezim Perdana Menteri Margareth
Thatcher, dari Partai Konservatif, yang kebijakan ekonominya sangat
liberal, memberi peluang kapitalis mengembangkan pasar modal (ekonomi
uang) tetapi di sisi lain mengabaikan kelas pekerja, sehingga
pengangguran pun merajalela. Ketika pabrik-pabrik menutup lowongan
pekerjaan, bahkan memecat banyak karyawannya dengan alasan efesiensi,
masyarakat kelas pekerja menggunakan jalanan sebagai tempat mencari
nafkah, membuat jejaring-kerja, serta aksi protes yang diselingi
karnaval dan musik.
Sebagai sub-kultur
Punk terinspirasi oleh karya-karya seni perlawanan. Antara lain, dari
novel karya Charles Dickens, yang sebagian besar menceritakan nasib
anak-anak (dari panti asuhan) yang dipaksa bekerja sebagai pembersih
cerobong asap di pabrik-pabrik yang menggunakan teknologi mesin uap
untuk menggenjot produksi pada era Revolusi Industri. Anak-anak itu
merasa tersiksa bekerja sehari-semalam, tanpa makanan yang cukup, di
tempat-tempat yang kumuh tidak berpenerangan. Mereka akhirnya
memberontak, menolak segala bentuk eksploitasi! Mereka lari dari
panti-asuhan! Lalu memutuskan hidup secara kolektif. Mereka menggunakan
jalanan di London sebagai sumber mencari nafkah dan ilmu-pengetahuan.
Dan terbebas dari eksploitasi.
Bagi seorang punk,
jalanan adalah kehidupan. Di jalanan mereka bertemu dengan orang-orang,
di jalanan mereka saling berbagi pengetahuan, di jalanan mereka
berdagang, di jalanan mereka menyuarakan kebenaran melalui nyanyian.
Pada 1980-an, terjadi bentrokan hebat antara punker dan hippies, karena
perbedaan persepsi tentang kehidupan di jalanan. Bagi hippies, jalanan
adalah ruang publik sebagai tempat mereka mengekspresikan kemuakan akan
kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman nuklir. Di jalanan mereka
berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks bebas (war no, sex yess) dan menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin lari (escape)
dari kehidupan ini. Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini sebagai
projeksi, tergantung si individu itu untuk melakukan perubahan.
Perubahan itu dimulai dari yang tidak ada, doing more with less,
menjadi sesuatu yang ada dan berarti. Punk tak pernah lari dan sembunyi
ketika dihadapkan pada problematika kehidupan. Hadapi! Tuntaskan!
Melihat fenomena
gerombolan yang beratribut punk yang nongkrong, mabuk dan mondar-mandiri
di Jakarta akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan lagi… Mereka
bukan punk! Mereka hanya beratribut punk tetapi jalan hidupnya adalah
hippies! Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan nenggak minuman
dan obat-obatan (drugs), mereka lari dari kebebasan (escape from freedom). ***
Beginilah Cara Tuhan Memenangkanmu dalam Kerasnya Kehidupan
Begitu kehidupan ini memukulmu dengan keras melalui kesulitan dan
tantangannya, engkau akan sangat membutuhkan tambahan kekuatan.
Begitu kehidupan ini membanting bantingmu dengan berbagai hantaman penderitaannya, engkau akan sangat membutuhkan kegigihan dan daya tahan.
Begitu satu persatu problem kehidupanmu mulai mengepungmu dan engkau semakin menghadapi kerumitan, kesemrawutan serta tumpang tindihnya persoalan, engkau akan sangat membutuhkan ketenangan, kejernihan, keterarahan dan kelurusan.
Engkau bisa memperoleh
"KETENANGAN, KEJERNIHAN, KETERARAHAN, KELURUSAN, KEKUATAN, KEGIGIHAN, DAYA TAHAN dengan sesempurna mungkin dan tanpa batas hanya dari TUHAN SEMESTA KEHIDUPAN YANG MAHA ESA DAN MAHA BERKUASA ATAS SEGALA SESUATU"
Jadi jika engkau perbaiki hubungan mu dengan NYA dengan cara mendekati NYA melalui beragam ibadah mu kepada NYA maka DIA akan memperbaiki dan melipatgandakan semua yang ada pada dirimu.
Ketenanganmu.
Kejernihan dan kesucian pikiran, perasaan, hati dan jiwamu.
Kelurusan cara berpikir, cara merasa dan cara bertindakmu.
Keluasan dan kelapangan jiwamu.
DIA juga akan memberimu kekuatan.
Kegigihan.
Daya tahan
Konsistensi perjuangan.
Dan jika semua itu engkau daya gunakan semaksimal mungkin untuk bekerja dan berjuang dengan cara lebih berkualitas serta lebih sempurna lagi maka. . . .
DIA akan membukakan bagimu satu demi satu jalan keluar.
DIA akan menyediakan rezeki keberhasilan bagimu dari arah yang tidak pernah engkau perkirakan.
DIA akan memberikan kumudahan pada satu persatu urusanmu.
DIA akan memenangkanmu.
Dan tidak akan ada yang bisa membendung langkah kejayaanmu.
Itulah jejak sejarah pelajaran kebenaran yang terungkap dari perjalanan hidup NABI mu.
Begitu kehidupan ini membanting bantingmu dengan berbagai hantaman penderitaannya, engkau akan sangat membutuhkan kegigihan dan daya tahan.
Begitu satu persatu problem kehidupanmu mulai mengepungmu dan engkau semakin menghadapi kerumitan, kesemrawutan serta tumpang tindihnya persoalan, engkau akan sangat membutuhkan ketenangan, kejernihan, keterarahan dan kelurusan.
Engkau bisa memperoleh
"KETENANGAN, KEJERNIHAN, KETERARAHAN, KELURUSAN, KEKUATAN, KEGIGIHAN, DAYA TAHAN dengan sesempurna mungkin dan tanpa batas hanya dari TUHAN SEMESTA KEHIDUPAN YANG MAHA ESA DAN MAHA BERKUASA ATAS SEGALA SESUATU"
Jadi jika engkau perbaiki hubungan mu dengan NYA dengan cara mendekati NYA melalui beragam ibadah mu kepada NYA maka DIA akan memperbaiki dan melipatgandakan semua yang ada pada dirimu.
Ketenanganmu.
Kejernihan dan kesucian pikiran, perasaan, hati dan jiwamu.
Kelurusan cara berpikir, cara merasa dan cara bertindakmu.
Keluasan dan kelapangan jiwamu.
DIA juga akan memberimu kekuatan.
Kegigihan.
Daya tahan
Konsistensi perjuangan.
Dan jika semua itu engkau daya gunakan semaksimal mungkin untuk bekerja dan berjuang dengan cara lebih berkualitas serta lebih sempurna lagi maka. . . .
DIA akan membukakan bagimu satu demi satu jalan keluar.
DIA akan menyediakan rezeki keberhasilan bagimu dari arah yang tidak pernah engkau perkirakan.
DIA akan memberikan kumudahan pada satu persatu urusanmu.
DIA akan memenangkanmu.
Dan tidak akan ada yang bisa membendung langkah kejayaanmu.
Itulah jejak sejarah pelajaran kebenaran yang terungkap dari perjalanan hidup NABI mu.
Kerasnya kehidupan kisah anak punk
Kisah anak punk
Anak Punk Ga Selalu Reseh..!Jangan selalu mencap miring anak punk, kalo belon dekat. Mereka emang cuek, tapi juga tau diri. Kenapa mesti berpakaian lusuh?
“Awas anak punk!” Peringatan kayak gitu masih sering terdengar begitu melihat segerombolan anak punk di jalan. Maklum, penampilan anak punk emang bikin “keder” banyak orang. Jaket lusuh yang dipenuhi emblem, sepatu boots Doc Mart, celana panjang ketat, spike (gelang berjeruji) di tangan, rambut tajamnya yang bergaya mohawk (mohak) bikin punkers terkesan garang.
Bukan hanya penampilan yang membuat imej punk jadi “lain” dari komunitas remaja kebanyakan, tapi juga tingkah mereka. Bergerombol di jalan, kadang sampe pagi, dan kadang suka terlibat tawuran. Maka, kompletlah punk kena cap sebagai komunitas yang bermasalah. Padahal, apa sebenernya anak punk kayak gitu? Tukang bikin rusuh?
“Salah banget kali, orang-orang ngelihat kita kayak sampah masyarakat. Mereka yang mikir begitu, sebenarnya nggak tau apa-apa tentang kita,” kata Oscar, salah satu anak punk Jakarta Timur (Sorry, musti pake’ nama samaran).
Menurut Oscar, penampilan punk yang lusuh bukan berarti kelakuan mereka juga minus. Apalagi penampilan kayak gitu udah menjadi cirri khas punk. Mungkin kelihatan lusuh, dekil, kayak orang aneh, tapi kita nggak pernah ngelakuin tidak criminal kayak maling. “Kalo ada anak punk yang malak, dia nggak ngerti arti punk sebenarnya. Mungkin cuma dandanan luar doang yang punk, dalemnya nggak tau apa-apa,” tambah cowok berusia 16 tahun ini serius.
Tapi nggak bisa dipungkiri, penampilan, penampilan punk yang sering kelihatan lusuh nggak terlepas dari sejarah kelahiran punk itu sendiri. Menurut Oscar, punk lahir di jalanan, dari orang-orang yang tertindas kayak gembel, buruh dan gelandangan yang benci sama kapitalis di Eropa. Mereka benci ama orang kaya yang serakah dan penindas orang miskin.
“Mereka akhirnya terbuang, sampe terus bikin komunitas sendiri. Tapi, kalo lantas dianggap kriminal, ya salah. Punk malah punya jiwa sosial dan solidaritas yang tinggi, terutama buat kelompoknya. Mereka juga memihak rakyat kecil,” jelas Oscar panjang lebar.
kerasnya kehidupan di jalanan
Kehidupan anak jalanan gak bisa di pisahkan dengan hal-haL yang berbau
sex. Hal ini di karenakan kurangnya perhatian dan pengawasan dari
orang-orang terdekat yang memungkunkan untuk bisa menolong dan
menyalamatkan hidupnya dari pergaulan bebas. namun hal itu sangat sulit.
dikarenakan sudah berbaurnya kehidupan dari luar negeri yang sangat
merusak jiwa-jiwa anak jalanan, seperti sex, obat-obatan, minum-minuman
keras, dan lain sebagainya, sehingga anak-anak tersebut tidak dapat
lagi dikendalikan.
Sex bebas adalah salah satu aktivitas rutinitas dari anak-anak jalanan. gak bisa dipungkiri lagi, bahwa anak jalanan sangat tergaantanug dengan Sex. sex adalah satu satunya hiburan di dunia mereka yang penuh dengan kerasnya kehidupan, serba memerlukan uang sebagai alat hidu psalah satunya yaitu dengan menjajakan diri di jalanan mereka bisa mengisi perut mereka dengan sesuap nasi ,
memang terdengar sangat tidak bagus untuk usia semereka, namu siapa yang mau melarang, mereka hidup sebatang kara, dan semuanya serba sendiri, jadi wajar mereka melakukannya dengan alasan untuk bertahan hidup.
Sex bebas adalah salah satu aktivitas rutinitas dari anak-anak jalanan. gak bisa dipungkiri lagi, bahwa anak jalanan sangat tergaantanug dengan Sex. sex adalah satu satunya hiburan di dunia mereka yang penuh dengan kerasnya kehidupan, serba memerlukan uang sebagai alat hidu psalah satunya yaitu dengan menjajakan diri di jalanan mereka bisa mengisi perut mereka dengan sesuap nasi ,
memang terdengar sangat tidak bagus untuk usia semereka, namu siapa yang mau melarang, mereka hidup sebatang kara, dan semuanya serba sendiri, jadi wajar mereka melakukannya dengan alasan untuk bertahan hidup.
KERASNYA HIDUP DI JALANAN .
[Metropolitan]
Hidup di Jalanan, Melebihi Kerasnya Batu
HARI itu, 168 anak perwakilan dari 28 provinsi di Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2009 di Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta Utara. Acara yang dihadiri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof Muthia Hatta ini berlangsung meriah. Anak-anak bisa bermain semua jenis permainan yang mereka suka.
Canda-tawa dan hiruk-pikuk kemeriahan hanya dialami oleh sedikit anak Indonesia yang beruntung. Bagi anak-anak jalanan, HAN sama seperti hari biasanya, hari dimana mereka harus berkutat dengan kerasnya hidup. Hidup di jalanan lebih keras daripada batu, ungkap Andi, 14.
Di salah satu sudut Stasiun Depok Lama, di Depok, Jawa Barat bocah yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang tidak teratur ini mencoba berbagi cerita. Dengan nada suara yang tidak beraturan karena sedikit mabuk, Andi menceritakan cita-citanya untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengen jadi ABRI, eh, sekarang jadi tukang sapu. Gue ngapain sekolah berhenti? katanya sambil sesekali mengisap rokok.
Kehidupan jalanan yang liar membuatnya telah banyak mencoba hal-hal negatif, meskipun umurnya masih cukup muda.
Dalam sehari Andi bisa mengantongi Rp25.000 hasil dari menyapu di gerbong-gerbong kereta. Rp5.000 diambilnya untuk makan dan sisanya ditabung untuk membiayai kedua adiknya yang tinggal di Karawang, Jawa Barat. Setiap bulan uang yang terkumpul dikirim ke kampung melalui seorang tetangganya.
Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (PA)tahun 2008 menunjukkan sebanyak6,5 juta anak-anak terpaksa bekerja. Sebanyak 2,1 juta bekerja dalam bentuk-bentuk terburuk, dan 1,5 juta bekerja sebagai pekerja rumahtangga yang tersembunyi. Selebihnya bekerja pada sentra-sentra industri, pertanian, perikanan, dan perkebunan; bahkan bekerja dan hidup di jalanan.
Harapan yang tidak muluk-muluk juga dilontarkan anak jalanan lainnya,Aditya, 15. Baginya bisa selamat dan bisa hidup sudah sangat cukup. Biar jadi gembel, yang penting hidup, katanya dibarengi suara bising kereta ekspres yang lewat. Di antara temannya, Aditya-lah yang berbicara paling banyak dengan gaya khas anak jalanan: lugas dan apa adanya. Penampilannya seperti anak punk dengan banyak tindikan di kanan dan kiri telinganya. Saya mah nggak mau nyolong. Daripada nyolong, lebih baik minta. Kalau nggak dikasih, baru pinjem, ujarnya sambil bercanda dengan temannya yang berbadan paling subur, Andi Saputra, 15.
Sejak umur 7 tahun Andi Saputra sudah meninggalkan keluarganya di daerah Rangkas, Parung Panjang. Karena tidak bisa membayar uang sekolah, dia memilih menggelandang di jalanan. Bersama kedua temannya, Andi hidup dan berteduh dari stasiun ke stasiun; tetapi biasanya mereka mangkal di Stasiun Depok Baru, Citayam, Bogor, Jawa Barat.
Dengan nada suara yang pasti, Andi Saputra mengungkapkan keinginan hatinya. Malu jadi gembel terus, pengen dagang, katanya sambil menyalakan rokok. Memang di antara temannya, dialah yang paling mengebu-gebu ketika menceritakan kisah hidupnya yang serba kekurangan karena harus berbagi dengan adik-adiknya. Dahulu ketika masih di kampung, hidupnya sangat susah. Makan hanya jagung ditumbuk dan apabila hujan turun atap rumahnya bocor.
Mereka bertiga sudah mengenal rokok, minuman keras, dan obat terlarang sejak usia dini. Andi Saputra malahan pernah kecanduan aibon, namun akhirnya disadarkan oleh seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Depok yang membuka rumah singgah bagi anak jalanan.
Meskipun perhatian pemerintah masih kurang terhadap anak-anak jalanan tetapi masih banyak orang yang peduli dengan mendirikan rumah singgah ataupun rumah baca. Selain itu Komnas PA juga merekomendasikan tujuh poin kepada pemerintah saat Kongres Anak Indonesia 2009.
Salah satunya poinnya yaitu mendesak agar negara transparan dalam mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan sebagaimana amanat UUD 1945 dan menciptakan sistem pendidikan yang tidak diskriminatif bagi anak, khususnya anak-anak dari keluarga miskin.
Salah satu alasan mereka menjadi anak jalanan adalah tidak mampu bayar uang sekolah. Mereka juga menyesal karena tidak melanjutkan sekolah seperti yang diungkapkan Muhammad Andi. Tapi rata-rata mereka enggan menceritakan tentang orangtuanya.
Meski hidup di jalanan mereka masih mempunyai mimpi walaupun sederhana. Kelak mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kerasnya kehidupan jalanan, tidak lantas membuat mereka bersedih. Mereka masih bisa bergembira dengan cara mereka sendiri.
Hidup di Jalanan, Melebihi Kerasnya Batu
HARI itu, 168 anak perwakilan dari 28 provinsi di Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2009 di Dunia Fantasi, Ancol, Jakarta Utara. Acara yang dihadiri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Prof Muthia Hatta ini berlangsung meriah. Anak-anak bisa bermain semua jenis permainan yang mereka suka.
Canda-tawa dan hiruk-pikuk kemeriahan hanya dialami oleh sedikit anak Indonesia yang beruntung. Bagi anak-anak jalanan, HAN sama seperti hari biasanya, hari dimana mereka harus berkutat dengan kerasnya hidup. Hidup di jalanan lebih keras daripada batu, ungkap Andi, 14.
Di salah satu sudut Stasiun Depok Lama, di Depok, Jawa Barat bocah yang berpenampilan lusuh dengan rambut yang tidak teratur ini mencoba berbagi cerita. Dengan nada suara yang tidak beraturan karena sedikit mabuk, Andi menceritakan cita-citanya untuk menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengen jadi ABRI, eh, sekarang jadi tukang sapu. Gue ngapain sekolah berhenti? katanya sambil sesekali mengisap rokok.
Kehidupan jalanan yang liar membuatnya telah banyak mencoba hal-hal negatif, meskipun umurnya masih cukup muda.
Dalam sehari Andi bisa mengantongi Rp25.000 hasil dari menyapu di gerbong-gerbong kereta. Rp5.000 diambilnya untuk makan dan sisanya ditabung untuk membiayai kedua adiknya yang tinggal di Karawang, Jawa Barat. Setiap bulan uang yang terkumpul dikirim ke kampung melalui seorang tetangganya.
Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (PA)tahun 2008 menunjukkan sebanyak6,5 juta anak-anak terpaksa bekerja. Sebanyak 2,1 juta bekerja dalam bentuk-bentuk terburuk, dan 1,5 juta bekerja sebagai pekerja rumahtangga yang tersembunyi. Selebihnya bekerja pada sentra-sentra industri, pertanian, perikanan, dan perkebunan; bahkan bekerja dan hidup di jalanan.
Harapan yang tidak muluk-muluk juga dilontarkan anak jalanan lainnya,Aditya, 15. Baginya bisa selamat dan bisa hidup sudah sangat cukup. Biar jadi gembel, yang penting hidup, katanya dibarengi suara bising kereta ekspres yang lewat. Di antara temannya, Aditya-lah yang berbicara paling banyak dengan gaya khas anak jalanan: lugas dan apa adanya. Penampilannya seperti anak punk dengan banyak tindikan di kanan dan kiri telinganya. Saya mah nggak mau nyolong. Daripada nyolong, lebih baik minta. Kalau nggak dikasih, baru pinjem, ujarnya sambil bercanda dengan temannya yang berbadan paling subur, Andi Saputra, 15.
Sejak umur 7 tahun Andi Saputra sudah meninggalkan keluarganya di daerah Rangkas, Parung Panjang. Karena tidak bisa membayar uang sekolah, dia memilih menggelandang di jalanan. Bersama kedua temannya, Andi hidup dan berteduh dari stasiun ke stasiun; tetapi biasanya mereka mangkal di Stasiun Depok Baru, Citayam, Bogor, Jawa Barat.
Dengan nada suara yang pasti, Andi Saputra mengungkapkan keinginan hatinya. Malu jadi gembel terus, pengen dagang, katanya sambil menyalakan rokok. Memang di antara temannya, dialah yang paling mengebu-gebu ketika menceritakan kisah hidupnya yang serba kekurangan karena harus berbagi dengan adik-adiknya. Dahulu ketika masih di kampung, hidupnya sangat susah. Makan hanya jagung ditumbuk dan apabila hujan turun atap rumahnya bocor.
Mereka bertiga sudah mengenal rokok, minuman keras, dan obat terlarang sejak usia dini. Andi Saputra malahan pernah kecanduan aibon, namun akhirnya disadarkan oleh seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Depok yang membuka rumah singgah bagi anak jalanan.
Meskipun perhatian pemerintah masih kurang terhadap anak-anak jalanan tetapi masih banyak orang yang peduli dengan mendirikan rumah singgah ataupun rumah baca. Selain itu Komnas PA juga merekomendasikan tujuh poin kepada pemerintah saat Kongres Anak Indonesia 2009.
Salah satunya poinnya yaitu mendesak agar negara transparan dalam mengalokasikan anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan sebagaimana amanat UUD 1945 dan menciptakan sistem pendidikan yang tidak diskriminatif bagi anak, khususnya anak-anak dari keluarga miskin.
Salah satu alasan mereka menjadi anak jalanan adalah tidak mampu bayar uang sekolah. Mereka juga menyesal karena tidak melanjutkan sekolah seperti yang diungkapkan Muhammad Andi. Tapi rata-rata mereka enggan menceritakan tentang orangtuanya.
Meski hidup di jalanan mereka masih mempunyai mimpi walaupun sederhana. Kelak mereka berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kerasnya kehidupan jalanan, tidak lantas membuat mereka bersedih. Mereka masih bisa bergembira dengan cara mereka sendiri.
KERASNYA HIDUP DI JALANAN .
Hey... !
ketemu lagi sama gue , dipostingan satu ini, ohiya selama ini perasaan gue belom pernah ngenalin diri gue yah,
Keinginannya
hanya satu, bisa makan demi mempertahankan kehidupannya agar terus
berjalan. gue gak mau mati konyol. Gue merasa harus berjuang dan harus
menjadi kuat.
ketemu lagi sama gue , dipostingan satu ini, ohiya selama ini perasaan gue belom pernah ngenalin diri gue yah,
okeh kawan !! kenalin nama gue Ari Tedy biasa dipanggil "Kentunk". Berbagai
macam rasa telah gue rasakan, pahit, getir, luka, perih, miris,
terhina, tanpa harapan, semua fase kehidupan yang tidak enak udah gue
lewati.
Segala kata yang
menyakitkan, mungkin gak cukup untuk melukiskan penderitaan. Jangankan
sekolah, untuk makan dan bertahan hidup pun harus berjuang dalam
keperihan.
Sudah sering gue
harus rela menerima caci maki yang luar biasa kasar. Tidak terhitung,
perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi. Demi sesuap nasi, sering gue
harus menerima pekerjaan yang kelewat berat untuk anak-anak seumuran gue, Masih
banyak lagi hal suram buram yang gue alami sepanjang gue menggelandang
di jalanan. Di jalanan yang berlaku bukanlah hukum masyarakat yang penuh
aturan dan tatakrama, tetapi hukum RIMBA yang mengandalkan kekuatan
fisik. Siapa yang kuat, dialah yang menang karena gue hidup dijalanan hingga semua harus berpikir secara liar
Saat itulah gue hanya berusaha untuk menjadi orang kuat dalam versinya demi mempertahankan hidup di jalanan. Pekat dan suramnya kehidupan. Seperti sebuah lentera yang gue tidak mengerti dari mana datangnya, adalah pemikiran sederhana dan lugu yang gue miliki. gue tidak pernah berpikir banyak tentang halangan dan rintangan tersebut.
Keinginannya
hanya satu, bisa makan demi mempertahankan kehidupannya agar terus
berjalan. gue gak mau mati konyol. Gue merasa harus berjuang dan harus
menjadi kuat.
Kini, semua halangan, rintangan, penderitaan,
kesakitan, kepedihan, luka, air mata, pengorbanan, semuanya telah
berubah menjadi lautan hikmah. Dulu, dengan segala kepahitan yang gue
alami sebagai anak jalanan, gue hanya merasakan betapa pedihnya hidup
dalam kondisi yang memprihatinkan.
Betapa tidak menyenangkannya
menjadi anak jalanan. Salah satu kategori ‘orang-orang buangan’ yang
tidak memiliki harapan dan masa depan.
Gue berharap mudah-mudahan
dengan membaca kisah hidup Gue, semakin banyak orang yang mau mengubah
hidupnya menuju kesuksesan dan kebahagiaan. Sesungguhnya, kesuksesan dan
kebahagiaan tergantung pada diri kita masing-masing. Tidak tergantung
pada orang lain. Apapun latar belakang kita, sukses adalah hak kita.
Kerasnya Hidup di Jalan Raya

Deru kendaraan silih
berganti, asap mengepul disetiap jalan. Namun dia tetap berdiri dan
bernyanyi disana untuk mendapatkan sekeping uang logam. Kesehatan telah
mereka lupakan, dengan alasan perut mereka langgar peraturan. Gemericik
air hujan tak memudarkan semangat mereka bahkan cacian dan makian
orangpun hanya melewati telinga mereka. Terkadang mereka masih harus
menyetorkan hasil kerja kepada para preman agar mereka tak dipukuli dan
aniaya.
Anak kecil, remaja, demasa, dan orang
tuapun berada pada tempat yang sama untuk bekerja. Berdiri di setiap
jendela mobil dengan bernyanyi, terkadang menggendong anak kecil mereka
lakukan. Pagi, siang, bahkan dinginnya malampun mereka tetap bekerja.
Suatu ketika, saat dia sedang mencari
uang, teman-temannya memanggilnya dengan berlari dan berada di samping
setiap mobil. Mobil coklat muda dengan bak terbuka dengan pelan melaju
di seberang jalan. Diapun berjalan mendekati pembatas jalan yang
ditanami pepohonan di tengah jalan.
Yah kejadian seperti itu terjadi di
perempatan dekat BankIndonesia. Dengan menunduk dan melihat sekeliling
mereka berjalan menyusuri pembatas jalan, menempel, agar tidak ada yang
melihat mereka dari seberang jalan. Mobil coklat tadi semakin pelan
berjalan dengan beberapa pamong praja didalamnya, mereka mencari para
anak jalanan dan gelandangan yang mereka anggap mengkotori sudut-sudut
perkotaanSurakarta.Parapengamen kecil tersebutpun menyeberang masuk ke
Kampung Baru, bersembunyi di bawah sinar rembulan pada malam hari.
Pamong Praja menghentikan mobilnya,
dengan hati-hati mereka menyelinap mengikuti para anak jalanan hendak
bersembunyi. Berbagai upaya mereka lakukan, memasuki kampung, dan
berkeliling di jalan-jalan, namun mereka tak mendapati apa yang mereak
cari. Usaha anak jalanan pun tak sia-sia, mereka lolos dari razia
petugas pemerintah. Namun masalah belumlah selesai begitu saja. Mereka
harus kembali bekerja demi menghidupi keluarga atau hanya menghidupi bos
mereka. Langkah-langkah kecil tercipta di keramaian jalan raya, dengan
mata mengitari sudut jalan, mengawasi apakah masih terdapat petugas yang
berja merekapun kembali ke stand-stand mereka bekerja. Lampu merah
berganti hijau, uangpun melayang kembali. 10 detik mereka menunggu,
lampu merahpun menyala. 40 – 60 detik adalah waktu berharga bagi mereka,
waktu sesingkat itu adalah waktu kerja mereka. Berjalan disetiap
kendaraan dan berhenti di sebelah jendela lalu bernyanyi atau hanya
membukakan tangan agar para pengendara memberi mereka sekeping uang
logam.
Malam menjadi semakin larut, lalu lalang
kendaraan surut. Uang yang mereka perolehpun sedikit, karena terhalang
razia. Jika mereka terkena razia mungkin hidup mereka menjadi lebih
enak, namun siapa yang akan menghidupi keluarga mereka. Jika hanya
sepuluh ribu rupiah yang didapat, mereka sudah senang dan pulang kerumah
dengan wajah berseri. Entah berapa kepala yang akan mereka hidupi
dengan uang itu namun mereka tetap bergembira hati. Terkadang makanan
sisapun masuk kedalam perut, hanya untuk memenuhi keinginan lambung.
Mereka mengakui jika mereka mengotori pemandangankota, namun adakah
masih adakah tempat untuk mereka dan orang tua mereka bekerja.
Panas terik tak mereka hiraukan, hujan
lebatpun mereka terima. Tiada keluh kesah yang terucap dari mulut
mereka. Hanya rasa syukur ketika mereka tidak tertangkap razia dan
mendapatkan banyak uang yang mereka ucap. Itulah sedikit kisah yang
dapat menggambarkan para anak jalanan yang sedang bekerja.
PERISTIWA SEMALAM: Kerasnya Hidup Anak Jalanan
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu...Dipaksa pecahkan karang... Lemah jarimu terkepal...
Pikiran ini masih
terusik dengan peristiwa semalam didekat kolong UKI, tempat aku menunggu
bis pulang ke Bekasi. Dua bocah kecil ; anak jalanan kisaran 6 tahunan
bercanda dengan "khas yang mereka miliki" (lebih tepatnya kasar, tanpa
tahu akibat dan cari perhatian disekitarnya). Mereka berlarian, saling
dorong lalu tiba-tiba "blukkk !" salah satu anak jatuh
tersungkur mencium aspal jalan. Seketika dia menangis keras, meronta
kesakitan, memegangi kening & kepalanya. Mereka berada tepat 3 meter
didepanku. Tak tega aku melihatnya. Kulihat ada darah yang mengalir,
entah bersumber dari kepala atau keningnya. Hatiku miris dan hanya bisa
mengucap "Ya Allah..."
Kaki ini rasanya berat untuk mendekat. Yang kupikirkan hanya takut karena daerah ini lumayan rawan dan aku tak tahu harus berbuat apa. Karena tak lama kemudian ada beberapa pengamen dewasa mendekatinya, menanyakan kenapa dan kulihat mereka sibuk membersihkan luka di kening & kepala anak itu dengan air mineral serta menutupnya dengan perban seadanya. Tampak seorang "checker bis" atau petugas pengatur bis kota juga ikut mendekatinya.
Pikiran & hatiku saat itu terus berkecamuk apakah aku harus mendekat ? karena dia sudah dikerumuni banyak pengamen dewasa. Aku hanya bisa berharap semoga anak itu baik-baik saja. Lalu tak lama sang checker ada disampingku.
"Anak itu bagaimana Pak?" tanyaku.
"Yahh itu sudah biasa Mbak, anak jalanan sih, kalau bercanda pada kasar" jawabnya standar.
Aku gemas dan penasaran "Memang ibunya kemana pak ?"
Pak checker menjawab "Wong namanya anak jalanan, itu anak rame-rame mbak ! bapaknya gak tau yang mana, Ibunya juga buang dia waktu umur 4 tahun !"
"Astaghfirullah" hatiku benar-benar remuk rasanya. Selintas, wajah anakku yang selalu penuh senyum terbayang. "Beruntunglah kamu anakku, saat ini kamu sedang berada di kasur empuk & bercanda dengan Pipi-mu" gumamku.
Betapa besar ketimpangan ini ada di Ibu Kota. Mungkin sudah ratusan anak jalanan aku jumpai selama kurang lebih 8 tahun aku mengais rejeki di Jakarta. Mereka seharusnya berada di rumah, belajar, merasakan kasih sayang dan tidur dengan nyaman. Namun inilah kenyataan, jalanan adalah rumah mereka. Mungkin aku sangat menyesal karena tidak dapat mengulurkan tanganku secara langsung. Namun, selalu ada doa yang biasa aku ucapkan ketika melihat anak-anak jalanan. Semoga kelak kalian menjadi orang yang beruntung, bisa lepas dari kerasnya jalanan ini. Bis kota yang kutunggu sudah datang. Pengamen dewasa yang tadi membantu si bocah mengiringi bis-ku dalam lagu. Terimakasih...masih ada simpatimu untuknya !
Kaki ini rasanya berat untuk mendekat. Yang kupikirkan hanya takut karena daerah ini lumayan rawan dan aku tak tahu harus berbuat apa. Karena tak lama kemudian ada beberapa pengamen dewasa mendekatinya, menanyakan kenapa dan kulihat mereka sibuk membersihkan luka di kening & kepala anak itu dengan air mineral serta menutupnya dengan perban seadanya. Tampak seorang "checker bis" atau petugas pengatur bis kota juga ikut mendekatinya.
Pikiran & hatiku saat itu terus berkecamuk apakah aku harus mendekat ? karena dia sudah dikerumuni banyak pengamen dewasa. Aku hanya bisa berharap semoga anak itu baik-baik saja. Lalu tak lama sang checker ada disampingku.
"Anak itu bagaimana Pak?" tanyaku.
"Yahh itu sudah biasa Mbak, anak jalanan sih, kalau bercanda pada kasar" jawabnya standar.
Aku gemas dan penasaran "Memang ibunya kemana pak ?"
Pak checker menjawab "Wong namanya anak jalanan, itu anak rame-rame mbak ! bapaknya gak tau yang mana, Ibunya juga buang dia waktu umur 4 tahun !"
"Astaghfirullah" hatiku benar-benar remuk rasanya. Selintas, wajah anakku yang selalu penuh senyum terbayang. "Beruntunglah kamu anakku, saat ini kamu sedang berada di kasur empuk & bercanda dengan Pipi-mu" gumamku.
Betapa besar ketimpangan ini ada di Ibu Kota. Mungkin sudah ratusan anak jalanan aku jumpai selama kurang lebih 8 tahun aku mengais rejeki di Jakarta. Mereka seharusnya berada di rumah, belajar, merasakan kasih sayang dan tidur dengan nyaman. Namun inilah kenyataan, jalanan adalah rumah mereka. Mungkin aku sangat menyesal karena tidak dapat mengulurkan tanganku secara langsung. Namun, selalu ada doa yang biasa aku ucapkan ketika melihat anak-anak jalanan. Semoga kelak kalian menjadi orang yang beruntung, bisa lepas dari kerasnya jalanan ini. Bis kota yang kutunggu sudah datang. Pengamen dewasa yang tadi membantu si bocah mengiringi bis-ku dalam lagu. Terimakasih...masih ada simpatimu untuknya !
Rabu, 20 April 2016
Hari ini gue pulang ke rumah karena long weekend, nah biasanya kalo
pulang ke rumah, gue pake damri dari terminal ps minggu. Gue sampe
terminal ps minggu itu jam 4 sore. Bus damrinya baru berangkat setengah
jam kemudian.
Ga lama setelah bus nya jalan, busnya berenti, padahal lagi ga macet loh, ternyata di depan bus kami ada para preman lagi ngeroyok seorang pengamen, preman itu jumlahnya sekitar 15 orang, mukulin pengamen yang cuma 1 orang. Pengecut semua tuh premannya, mending deh 1 lawan 1, ini mah mainnya keroyokan.
Kelihatannya sih pengamennya udah bikin salah ke si preman, dan akhirnya dia dipukulin, sungguh ya, kalo menurut gue, salahnya si pengamen apa deh, sampe dia layak dapet puluhan pukulan dari para preman. Selagi si pengamen dipukulin sama si preman-preman itu, orang-orang yang di pinggir jalan ga berani buat misahin mereka, para penjual keliatan banget ngeri ngeliat para preman itu bringas banget mukulin si pengamen. Bahkan bus yang gue naikin pun ga berani buat kasih klakson ke mereka, yaa takutnya aja sih si preman nekat bawa batu dan lempar bus kami pake batu.
Akhirnya, setelah sekitar 10 menit dipukulin, ada banyak warga yang mau misahin perkelahian yang ga seimbang gitu. Meski si pengamen masih bisa jalan, tetep aja pas gue liat, mukanya udah bonyok, dan darahnya ngalir dari mulut dan hidung.
Kadang gue mikir, hidup di jalan itu keras banget. Gue ngebayangin kalo dia hidup di jalan dan dia bukan preman, pasti hidupnya bakal dikuasain oleh preman lokal. Kalo si pengamen atau siapa lah itu gamau nurut permintaan si preman, pasti si preman bakal ultimatum dia, nyuruh dia bayar setoran, atau kalo gabisa ya diusir, bahkan bisa aja digebukin kayak yang tadi terjadi di terminal ps minggu.
Gue bersyukur banget sih Alhamdulillah gue gaperlu buat ngalamin hal yang kayak gitu, Alhamdulillah gue bisa kayak sekarang, tinggal kuliah, apa-apa udah enak, semoga kejadian td siang bikin gue bersyukur kalo gue udah dikasih kehidupan yang ga sekeras mereka-mereka yang hidup di jalan. Semoga aja gue bisa terus bersyukur ke Allah dengan cara apapun
Ga lama setelah bus nya jalan, busnya berenti, padahal lagi ga macet loh, ternyata di depan bus kami ada para preman lagi ngeroyok seorang pengamen, preman itu jumlahnya sekitar 15 orang, mukulin pengamen yang cuma 1 orang. Pengecut semua tuh premannya, mending deh 1 lawan 1, ini mah mainnya keroyokan.
Kelihatannya sih pengamennya udah bikin salah ke si preman, dan akhirnya dia dipukulin, sungguh ya, kalo menurut gue, salahnya si pengamen apa deh, sampe dia layak dapet puluhan pukulan dari para preman. Selagi si pengamen dipukulin sama si preman-preman itu, orang-orang yang di pinggir jalan ga berani buat misahin mereka, para penjual keliatan banget ngeri ngeliat para preman itu bringas banget mukulin si pengamen. Bahkan bus yang gue naikin pun ga berani buat kasih klakson ke mereka, yaa takutnya aja sih si preman nekat bawa batu dan lempar bus kami pake batu.
Akhirnya, setelah sekitar 10 menit dipukulin, ada banyak warga yang mau misahin perkelahian yang ga seimbang gitu. Meski si pengamen masih bisa jalan, tetep aja pas gue liat, mukanya udah bonyok, dan darahnya ngalir dari mulut dan hidung.
Kadang gue mikir, hidup di jalan itu keras banget. Gue ngebayangin kalo dia hidup di jalan dan dia bukan preman, pasti hidupnya bakal dikuasain oleh preman lokal. Kalo si pengamen atau siapa lah itu gamau nurut permintaan si preman, pasti si preman bakal ultimatum dia, nyuruh dia bayar setoran, atau kalo gabisa ya diusir, bahkan bisa aja digebukin kayak yang tadi terjadi di terminal ps minggu.
Gue bersyukur banget sih Alhamdulillah gue gaperlu buat ngalamin hal yang kayak gitu, Alhamdulillah gue bisa kayak sekarang, tinggal kuliah, apa-apa udah enak, semoga kejadian td siang bikin gue bersyukur kalo gue udah dikasih kehidupan yang ga sekeras mereka-mereka yang hidup di jalan. Semoga aja gue bisa terus bersyukur ke Allah dengan cara apapun
KERASNYA HIDUP di JALANAN
“Diduga menghindari kejaran aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang melakukan razia, dua pengamen Jalanan yakni Muhamad Faisal (17) dan Rini (12) tertabrak truk bermuatan tanah di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih. Jakarta Pusat. Senin (1/3) sekitar pukul 10.30. Faisal tewas seketika dengan kepala remuk, sedangkan Rini mengalami luka berat di kepala serta punggung dan langsung dilarikan ke RS Kartika.”
Ini adalah salah satu wacana sebuah Koran yang beberapa hari lalu saya baca. Miris memang katika profesi pengamen harus mengorbankan nyawa demi tercukupinya hidup. Kehidupan mereka begitu keras.
Leni adalah seorang anak yang biasa mengamen di pertigaan menuju Timoho depan UIN . Saat matahari cukup terik. Akivitas di jalan utama menuju jalan Solo masih tetap ramai seperti biasanya. Ketika saya berhenti di pertigaan jalan Affandi (Timur UNY), seorang pengamen jalanan yang berumur 10 tahun menghampiri seluruh pengguna jalan yang sedang berhenti untuk menunggu lampu hijau menyala. Leni Ia sebut namanya, sedikit menggelitik rasa hatiku untuk bertanya, awal mulanya aku ragu apakah dia mau menjawab semua keingin tahuanku.
Berpura-pura berteduh saat hujan hampir mengguyur kota Yogya, ku coba dekati pengamen kecil seusia adikku. Aku tanyakan di mana rumahnya, Ia tinggal di pinggiran sungai Gajah Wong. Dan Ia tingggal lengkap dengan Bapak serta Ibunya. Dia tidak bersekolah namun Ia mengikuti kegiatan Yayasan yang di bentuk oleh beberapa gabungan Mahasiswa, tidak begitu jelas Ia ceritakan tentang Yayasan itu. Ketika ku tanya berapa penghasilan per-hari. Ia bercerita “ Kadang Rp20.000 tu kalau lagi ramai mbak kayak Minggu, tapi rata-rata Rp 10.000,-.”
Memang hampir sama dengan buruh pabrik yang per-hari 25.000, ketika ku tanyakan untuk apa saja uang itu? Rani menjawab “sebagian untuk makan 5.000,- yang Rp 2.500 untuk pasokan yayasan,sisanya ditabung atau di kasih Ibuk.” Tutur anak yang menurutku Ia cerdas berkomunikasi, karena Leni ini menjawab dengan fasih bahasa Indonesia yang aku lontarkan. Ibunya bekerja menjadi pemulung, bapaknya menganggur di rumah.
Ketika aku Tanya mengapa kamu mengamen? “ Ya, buat bantu ibuk mbak, anak-anak pinggiran sungai banyak yang mengamen kok mbak.” Tuturnya polos. Ini sebuah hal yang perlu di analisa, mereka mengamen bukan atas dasar keinginan mereka. Mereka hanya sekedar meniru apa yang menjadi budaya mesyarakat setempatnya.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Meskipun mereka sudah dirazia, diberi penyuluhan, dan difasilitasi Yayasan dengan harapan mereka bisa berhenti mengamen dan hidup layak seperti pada umumnya. Namun seperti kita lihat, mereka memiliki lingkungan yang didalamnya memiliki sebuah system turun temurun hidup dibawah rumah kumuh dan mengamen. Sosialisasi mereka lebih cepat dibanding usaha pemerintah menghapus anak jalanan.
Akhirnya aku mengantar Rani pulang sampai rumahnya. Benar-benar melihat lingkungannya. Bukan secara Ekonomi aku memandang, mereka berpakaian bagus, rata-rata rumahnya semi permanen dan cukup untuk berteduh. Tak jauh berbeda dengan rumah-rumah para korban gempa di bantul. Justru yang menjadi pertanyaan mengapa mereka masih bertahan dengan profesi mereka? Ibu-Ibu yang tidak menjadi pemulung memilih mengemis sambil menggendong anak yang belum tentu anaknya, mereka menyewa anak tetangganya dan membagi hasil dari mengemis.
Dipandang sagi social, kita bisa mengubah mereka dengan jalan merubah mentalnya. Bukan mengemis tapi bekarja. Bukan mengamen tapi buruh seberapaun pendapatanya. Aku sedikit Iba namun juga miris. Inilah pengalamanku pertama. Semoga artikel ini berguna. Baik buruknya tergantung dari segi mana kita memandang.
TRIMAKASIH
“Diduga menghindari kejaran aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang melakukan razia, dua pengamen Jalanan yakni Muhamad Faisal (17) dan Rini (12) tertabrak truk bermuatan tanah di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih. Jakarta Pusat. Senin (1/3) sekitar pukul 10.30. Faisal tewas seketika dengan kepala remuk, sedangkan Rini mengalami luka berat di kepala serta punggung dan langsung dilarikan ke RS Kartika.”
Ini adalah salah satu wacana sebuah Koran yang beberapa hari lalu saya baca. Miris memang katika profesi pengamen harus mengorbankan nyawa demi tercukupinya hidup. Kehidupan mereka begitu keras.
Leni adalah seorang anak yang biasa mengamen di pertigaan menuju Timoho depan UIN . Saat matahari cukup terik. Akivitas di jalan utama menuju jalan Solo masih tetap ramai seperti biasanya. Ketika saya berhenti di pertigaan jalan Affandi (Timur UNY), seorang pengamen jalanan yang berumur 10 tahun menghampiri seluruh pengguna jalan yang sedang berhenti untuk menunggu lampu hijau menyala. Leni Ia sebut namanya, sedikit menggelitik rasa hatiku untuk bertanya, awal mulanya aku ragu apakah dia mau menjawab semua keingin tahuanku.
Berpura-pura berteduh saat hujan hampir mengguyur kota Yogya, ku coba dekati pengamen kecil seusia adikku. Aku tanyakan di mana rumahnya, Ia tinggal di pinggiran sungai Gajah Wong. Dan Ia tingggal lengkap dengan Bapak serta Ibunya. Dia tidak bersekolah namun Ia mengikuti kegiatan Yayasan yang di bentuk oleh beberapa gabungan Mahasiswa, tidak begitu jelas Ia ceritakan tentang Yayasan itu. Ketika ku tanya berapa penghasilan per-hari. Ia bercerita “ Kadang Rp20.000 tu kalau lagi ramai mbak kayak Minggu, tapi rata-rata Rp 10.000,-.”
Memang hampir sama dengan buruh pabrik yang per-hari 25.000, ketika ku tanyakan untuk apa saja uang itu? Rani menjawab “sebagian untuk makan 5.000,- yang Rp 2.500 untuk pasokan yayasan,sisanya ditabung atau di kasih Ibuk.” Tutur anak yang menurutku Ia cerdas berkomunikasi, karena Leni ini menjawab dengan fasih bahasa Indonesia yang aku lontarkan. Ibunya bekerja menjadi pemulung, bapaknya menganggur di rumah.
Ketika aku Tanya mengapa kamu mengamen? “ Ya, buat bantu ibuk mbak, anak-anak pinggiran sungai banyak yang mengamen kok mbak.” Tuturnya polos. Ini sebuah hal yang perlu di analisa, mereka mengamen bukan atas dasar keinginan mereka. Mereka hanya sekedar meniru apa yang menjadi budaya mesyarakat setempatnya.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Meskipun mereka sudah dirazia, diberi penyuluhan, dan difasilitasi Yayasan dengan harapan mereka bisa berhenti mengamen dan hidup layak seperti pada umumnya. Namun seperti kita lihat, mereka memiliki lingkungan yang didalamnya memiliki sebuah system turun temurun hidup dibawah rumah kumuh dan mengamen. Sosialisasi mereka lebih cepat dibanding usaha pemerintah menghapus anak jalanan.
Akhirnya aku mengantar Rani pulang sampai rumahnya. Benar-benar melihat lingkungannya. Bukan secara Ekonomi aku memandang, mereka berpakaian bagus, rata-rata rumahnya semi permanen dan cukup untuk berteduh. Tak jauh berbeda dengan rumah-rumah para korban gempa di bantul. Justru yang menjadi pertanyaan mengapa mereka masih bertahan dengan profesi mereka? Ibu-Ibu yang tidak menjadi pemulung memilih mengemis sambil menggendong anak yang belum tentu anaknya, mereka menyewa anak tetangganya dan membagi hasil dari mengemis.
Dipandang sagi social, kita bisa mengubah mereka dengan jalan merubah mentalnya. Bukan mengemis tapi bekarja. Bukan mengamen tapi buruh seberapaun pendapatanya. Aku sedikit Iba namun juga miris. Inilah pengalamanku pertama. Semoga artikel ini berguna. Baik buruknya tergantung dari segi mana kita memandang.
TRIMAKASIH
kehidupan jalanan
Kerasnya kehidupan jalanan adalah santapan mereka sehari-hari.
Anak Sekecil Itu...
Desy Susilawati
Kampleng. Bagi bocah yang mengaku berusia 14 tahun itu, tampaknya Kata itu terdengar istimewa. Maka, dia pun memilih kampleng yang bermakna tampar dalam bahasa Jawa itu sebagai namanya. Dia sama sekali tak bisa mengingat nama pemberian orangtuanya. Pun. asal usulnya.
"Sejak orangtua saya menghilang lima tahun lalu, saya hidup di jalanan seorang diri. Sampai sekarang, saya tidak menemukan di mana orangtua saya. Kehidupan keras pun harus saya jalani. Agar bisa bertahan hidup, saya mengamen di sekitar Pejaten," ujar Kampleng.
Di jembatan lampu merah Pejaten, Jakarta, berteman gitar kayu kopong dan sebatang rokok yang diisapnya dalam-dalam, Kampleng menghabiskan sisa malam. Sesekali tubuh kurusnya bergidik saat embusan angin malam menusuk.
Ketika jam dinas usai, Kampleng lebih suka pulang. Jangan membayangkan dia bakal mendatangi tempat tinggal nyaman dan hangat. Rumah untuk Kampleng adalah kolong jembatan Pejaten bersama puluhan anak jalanan yang lain.
Di sanalah, mereka membangun tempat singgah yang terbuat dari bedeng yang beralaskan kardus dan ditutupi spanduk. Cahaya cukup dari pendar lampu petromaks. Nasib Agus (15 tahun) tak lebih baik. Seperti Kampleng, dia tak mengenal orang tuanya dan hidup dari jalanan. Mungkin, dia sedikit lebih beruntung ketimbang Kampleng karena dia tak harus mencari nama yang tepat untuk dirinya.
"Saya nggak pernah kenal namanya orang tua. Dari dulu, saya sudah ada di jalanan, mungkin dibuang. Dulu sih saya pernah tinggal di panti, dulu banget waktu kecil. Orang panti juga yang kasih sayanama," ujarnya. Muhammad Rendi boleh jadi bernasib lebih baik. Dia punya nama dari orang tuanya dan masih memiliki ibu. "Ayah saya sudah meninggal," ujarnya lirih.
Namun, kerasnya kehidupan jalanan juga santapannya sehari-hari. Saat ditemui, Rendi seda/ig terjaring razia anak jalanan dan gepeng di Kota Bogor. Untuk dia, urusan tertangkap petugas Satpol PP tak lagi baru.Kapok? Tidak, tentu saja. "Saya sudah di jalanan selama delapan tahun." ujarnya. Ini berarti nyaris separuh lebih dari usianya yang sekitar 14 tahun itu dihabiskan di jalanan.
Napasnya pun telah menyatu dengan segala bentuk kekerasan yang terbentang di jalanan. Mulai dari aksi ciduk petugas hingga bayangan kejahatan yang dilakukan sesama pelaku jalanan. . Untuk Hendra, hidup di jalanan seolah menjadi bagian dari hidupnya. Ia Berada di jalan sejak usia delapan tahun. Dia pun telah merasakan keganasan itu hingga kini, saat usianya 18 tahun.
Dia tak akan jengah bila menyaksikan pertumpahan darah bisa terjadi hanya gara-gara tersenggol. Kekerasan fisik juga dialami. Bedanya, ini tak terjadi antara temannya sesama anak jalanan. "Kebanyakan s/hdari preman." ucapnya.
Bagi Agus, anak jalanan paling beruntung sekalipun tetap sulit menghindari perlakuan buruk semacam itu. "Orang baik, orangjahat, semua ada di jalanan. Nggak sedikit anak kecil yang sehari-hari hidup di jalanan. Mereka tinggal tanpa perlindungan dan nggak juga bisa melindungi diri sendiri. Kata orang-orang, jalanan tempat kejahatan merajalela. Jadi, wajar kalau kejahatan apa saja bisa menimpa anak jalanan. Yang bikin saya heran, justru orang-orang hebohnya setelah ada berita di koran dan televisi," ujar Agus.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo miris. Kendati, untuk dia, masalah anak jalanan merupakan hal yang umum di kota besar, bukan berarti masalah semacam itu akan dibiarkan berlarut-larut. "Perlu penanganan serius dari sejumlah pihak terkait," katanya.
Fauzi mengakui, penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh DKI masih belum optimal. "Namun, kami berusaha menyediakan rumah-rumah singgah untuk mereka," ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Dinas Sosial DKI, Budihardjo. Dia tidak menampik bahwa fasilitas penanganan anak jalanan sangat minim. "Kapasitas sarana pembinaan tidak sesuai dengan jumlah anjal (anak jalanan) yang ada," ujarnya.
Namun, ingatan seorang Kampleng yang sudah beberapa kali keluar masuk panti sosial di Kedoya, Jakarta Barat, tentang pembinaan di panti jauh dari menyenangkan. "Seperti hidup dalam neraka," katanya."Saya dan teman-teman yang ketangkap dimasukkan ke dalam sel. Kita juga dipukuli dan diinjak-injak oleh petugas panti. Bahkan, rambut kita saja dibotakin. Tenaga kita juga diperas di sana. Belum lagi jatah makan kita yang hanya makanan sisa. Pokoknya, saya nggak tahan hidup di sana karena merasa di neraka. Akhirnya, saya dan teman-teman melarikan diri, ya walau suka ketangkap juga. Ibaratnya, kita main kucing-kucingan."
Keprihatinan serupa turut disuarakan Seto Mulyadi, ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Dengan jumlah anak jalanan 50 ribu di DKI Jakarta. Seto menyarankan pemerintah agar membangun pusat pengembangan kreativitas anak jalanan. Jangan hanya ditangkap dan membuat anak-anak jalanan tersebut seolah berada di penjara. "Buat anak-anak itu lebih aman berada di pusat pelatihan, harus ada bimbingan manusiawi, rohani, dan psikologis, terutama psikologis dan dinamika anak jalanan harus didalami," ujarnya.
Jika anak-anak itu merasa terpaksa dibawa oleh pemerintah untuk dibina, kata Seto, tak heran jika mereka melarikan diri dari panti-panti atau tempat penampungan anak jalanan. "Ada gula, ada semut. Jalanan merupakan gula bagi mereka. Buat pusat pelatihan seperti gula," tegasnya.
Di samping itu, Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, fenomena kekerasan terhadap anak meningkat. Fenomena ini, tuturnya, merupakan konsekuensi dari melonjaknya angka anak jalanan yang ada di 12 kota besar Indonesia.
Pada akhir 2009 lalu, jelasnya, 12 lembaga perlindungan anak mitra kerja Komnas Perlindungan Anak merilis bahwa terdapat 168 ribu anak
jalanan yang ada di 12 kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Angka ini melonjak sekitar 73 ribu dibandingkan pada 2008 lalu yang mencatat setidaknya terdapat 95 ribu anak jalanan.
Umumnya, papar Arist, mereka pernah mengalami kekerasan. "Macam-macam kekerasan mulai dari seksual, seperti disodomi orang dewasa, diperkosa oleh teman mereka sendiri, pembunuhan, hingga pemukulan," ungkap Arist yang ditemui pada Jumat (15/1).
Selain itu, Arist menduga bahwa banyak anak yang menjadi korban perdagangan organ tubuh. Ia pun mencontohkan Bunga (bukan nama sebenarnya). Bocah berusia 12 tahun ini ditemukan di Tokyo, Jepang, dengan kondisi kehilangan ginjal dan lidah terpotong.
Prasetyo (21) berkonsentrasi. Tangannya sibuk membubuhi sepatu putih itu dengan cat acrylic biru. Di
tangannya, polos sepatu itu disulap menjadi biru dengan motif bunda membuai anaknya di bagian depan atas sepatu.
Aktivitas mi dilakukan Tyo, sapaannya, saban mendapatkan pesanan. Biasanya, satu bulan dua kali order. Sehari-hari, ia biasa menjadi juru parkir di jalan Bukit Duri, Jakarta Selatan. "Kalau senggang, saya nongkrong di yayasan," ungkap Tyo merujuk pada Yayasan Annur Muhiyam di Jl Bukit Duri Tanjakan Batu. Tebet, Jakarta.
Kendati sejak kelas 2 SMP sudah di jalanan. Tyo mengaku beruntung. Setidaknya, sejak enam tahun lalu, waktunya kia i sedikit di jalanan.
Ia ditemui saat Menteri Sosial Salim Segaf Kl Jufrie bersama Dirjen Yanrehsos Mkmur Sunusi mengunjungi Yayasar Himmata di Plumpang, Jakarta Utara, baru-baru ini. Mereka memberikan bantuan kepada kedua orang tua Ardiansyah (9 tahun) yang tewas akibat dimutilasi Babe (Bekuni).
Kementerian Sosial menganggarkan Rp 184 miliar untuk pelayanan kesejahteraan anak, termasuk untuk anak jalanan.
Tyo hanya bisa berharap pemerintah memperbaiki nasib anak jalanan. "Jangan lagi terjadi korban."
Kampleng agaknya menyimpan asa serupa. Dulu, Kampleng hidup sebatang kara. Kini, dia memiliki keluarga baru. Dalam perjalanan hidupnya. Kampleng bertemu dengan Jujung dan Abay, anak jalanan lainnya. Ketiganya menjalin persahabatan erat layaknya saudara sekandung.
"Sekarang ini, saya tidak hidup sendiri lagi. Ada Jujung, Abay. dan teman-teman lainnya di sekitar saya. Saya juga punya Bang Syahrul yang sudah saya anggap sebagai abang kandung saya. Di bawah kolong jembatan, kita semua hidup menyatu. Kurang lebih 20 orang tinggal di sini," ujar Kampleng.
Jalan hidupnya mungkin saja tak banyak berubah. Namun, mata Kampleng tampak lebih bersinar. Dia
merasa telah menemukan tempat berlabuh. Dia menemukan kehangatan di antara teman-temannya senasib.
Di sudut lain, di bawah naungan jalan tol Pondok Pinang, Agus tampak sibuk membenahi barang dagangannya berupa bergelas-gelas air kemasan. Hujan deras membuat dagangannya tak lekas laku.
Sambil kembali membenahi dagangannya, mata Agus tak lepas dari rombongan pengamen di seberang jalan tempatnya duduk.
"Kalau punya pilihan, tidak mungkin ada orang yang mau hidup di jalanan. Mbak. Sayangnya, saya bahkan tidak bisa membayangkan ada kehidupan lain selain di tempat ini," ujarnya.
Dia pun bergegas mengejar metromini di simpang lampu merah, kembali menjemput pembeli. Alunan lagu Iwan Fals yang dilantunkan para pengamen itu terdengar lirih, "Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu...."
Langganan:
Postingan (Atom)